Konstitusi-Konstitusi Politik Modern

Hasil gambar untuk buku Konstitusi-Konstitusi Politik ModernKonstitusi merupakan hukum tertinggi yang ada pada suatu Negara. Konstitusi bukan hanya konsentrasi ilmu hukum, tetapi lintas ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, hubungan internasional, ilmu komunikasi, hingga ilmu ekonomi. Dalam sudut pandang ilmu hukum, konstitusi dibahas secara yuridis-normatif, sosiologi membahas pengaruh konstitusi dengan interaksi manusia, antropologi membahas konstitusi dari sudut pandang perilaku dan kebudayaan manusia, ekonomi membahasnya melalui kacamata kesejahteraan empirikal manusia dan masih banyak sudut pandang lainnya yang membahas konstitusi, termasuk pula dari sudut pandang filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan.

Manusia sebagai Makhluk Sosial

Di samping peran manusia sebagai entitas individu, manusia juga berperan sebagai entitas sosial. Entitas sosial manusia yang paling terkecil adalah keluarga, di atasnya terdapat anggota komunitas atau kelompok tertentu, di atasnya lagi terdapat warga Negara, dan yang paling luas adalah persaudaraan manusia atau dalam bahasa Ir. Soekarno yaitu kemanusiaan universal. Di luar spesiesnya, manusia juga berperan sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan seperti tumbuhan, hewan dan sebagainya.

Dalam melaksanakan interaksi sosialnya untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan hidupnya, yakni kesejahteraan, manusia memerlukan pranata hukum. Kehadiran pranata atau norma etika, agama dan adat belum cukup untuk menjaga stabilitas kehidupan manusia. Norma etika terlalu abstrak hingga terkadang menjadi subversif, multitafsir dan disubyektivikasi oleh individu-individu tertentu. Norma agama masih partikular dan juga bercorak “melangit” sehingga terkadang belum sanggup menjaga stabilitas kehidupan manusia. Lagipula, setiap agama akan mengklaim bahwa ajaran agamanya yang paling mewakili norma luhur dari sebuah agama. Hal ini diperparah dengan maraknya bentrokan sosial yang mengatasnamakan agama.

Sementara norma adat tidak dapat berlaku universal di segala penjuru dunia internasional, atau sekadar lingkup nasional dan regional. Abstraknya norma etika, partikularnya norma agama, dan sektoralnya norma adat, dapat disempurnakan oleh norma hukum. Tetapi, norma hukum harus berterima kasih kepada tiga norma sebelumnya yang harus diakui bahwa norma hukum lahir dari proses penyempurnaan ketiga norma tersebut. Norma atau pranata hukum kemudian menjadi jawaban bagi pertanyaan alat apa yang dapat digunakan oleh interaksi kehidupan manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya. Nah, adapun norma hukum yang paling dasar akan melahirkan konstitusi dan aturan-aturan yang ada di bawahnya.

Eksistensi Konstitusi Bergantung pada Supremasi Hukum

Kedaulatan adalah kemampuan suatu subyek dalam menentukan pilihannya sendiri. Jika ditarik pada ranah hukum, kedaulatan hukum adalah kemampuan hukum untuk dapat menjalankan perannya tanpa gangguan faktor lain, baik itu faktor sosio-politik, maupun ekonomi. Inilah yang dimaksud dengan supremasi hukum, yaitu menjadi hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Tentunya hukum yang dimaksud adalah konstitusi sebagai aturan dasar dan tertinggi yang ada pada suatu Negara. Praktis, keberadaan atau eksistensi konstitusi bergantung pada sejauh mana suatu Negara menegakkan supremasi hukum. Secara internal, kedaulatan berarti kekuasaan Negara untuk menegakkan hukumnya pada warga negaranya. Sementara secara eksternal kedaulatan berarti kekuasaan suatu Negara untuk menjaga independensi mutlaknya dalam hubungannya dengan Negara-Negara lainnya dalam percaturan global.

Trias Politica untuk Menjaga Spirit Konstitusi

Untuk menjaga spirit konstitusi dalam memenuhi tujuan bernegara, diperlukan lembaga yang diakui secara konstitusional untuk berperan dalam pemenuhan tujuan tersebut. Terdapat setidaknya 3 lembaga yang mutlak diperlukan dalam suatu Negara konstitusional, yaitu lembaga legistatif yang merancang Undang-Undang, lembaga eksekutif yang menjalankan Undang-Undang, dan lembaga yudikatif yang mengawasi dijalankannya Undang-Undang tersebut. Saling koreksi demi keseimbangan antar lembaga (Check and Balances) diperlukan demi menghindari abious of Power atau penyalahgunaan kekuasaan.

Akhirnya, interaksi manusia tersebut dalam mencapai kesejahteraan hidupnya masing-masing dan terhindar dari benturan sosial diperlukan Negara, yaitu organisasi tertinggi yang berada suatu wilayah yuridiksi tertentu yang dalam mengatur penduduknya diatur oleh pemerintahan yang berdaulat. Negara bertugas membantu manusia dalam mencapai tujuan sosial dengan aturan main berupa konstitusi dan hukum yang ada di bawahnya dan dengan metode demokrasi.

Yang namanya sejarah, pasti memalui dinamika ruang dan waktu. Dinamika tersebutlah yang kemudian menciptakan suatu perkembangan. Bangsa-bangsa yang tidak berhasil melewati dinamika zaman, akan tergerus dan menyisakan reruntuhan puing-puing belaka. Sejarah, kata Thomas Carlyle, adalah biografi tokoh-tokoh besar. Dalam hal konstitusionalisme, terdapat sejarah tersendiri pula. Di mulai dari Yunani Klasik hingga Perang Dunia ke II berakhir.

Setiap bangsa-bangsa menyumbangkan warisan tersendirinya terhadap perkembangan konstitusi secara universal. Yunani klasik menyumbangkan filsafat politik Plato dan Aristoteles. Romawi menyumbangkan kesatuan imperium dunia ala kaisar-kaisar Romawi. Begitupula dengan abad pertengahan, renesains, revolusi industri hingga Perang Dunia Pertama dan Kedua. Akhirnya, kita mendapati dunia yang sekarang ini menjadi dunia yang global, penghargaan terhadap kedaulatan suatu bangsa, demokrasi, keseimbangan hak, kebebasan, humanisme, yang kesemuanya itu dapat diakomodir dalam suatu konstitusi, termasuk konstitusi Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Revolusi dan Kontrak Sosial adalah Katalisator Konstitusi

Dikarenakan benturan sosial baik antar sesama warga Negara (perang saudara), utamanya antara rakyat dan penguasa merupakan alasan mengapa revolusi mesti dilakukan. Tanpa mengeyampingkan sejarah bangsa lain, terdapat dua revolusi besar yang mempengaruhi wajah dunia saat ini. Revolusi Islam dan Barat. Revolusi Islam dilakukan oleh Muhammad Saw. dengan pengikutnya demi menegakkan suatu masyarakat madani, suatu konsepsi masyarakat beradab. Sementara revolusi Barat  yang terdiri dari revolusi Amerika dan Revolusi Industri di Prancis dan Inggris. Slogan revolusi fraternite (persaudaraan), liberty (kebebasan) dan egality (kesetaraan) yang menjadi pompa semengat digalakkannya revolusi di dunia Barat saat itu.

Seperti judul buku Gunawan Muhammad, setelah revolusi tak ada lagi, maka yang ada adalah stagnansi. Maka revolusi harus terus bergulir. Setelah revolusi, yang ada tentulah kontrak sosial. Suatu perjanjian kolektif antara rakyat dan penguasa. Kontrak Sosial lebih dikenal luas dikarenakan jasa Jean Jacques Rosseau. Seorang filosof asal Prancis. Di setiap konstitusi yang merupakan kontrak sosial, umumnya tertulis bahwa rakyat mesti patuh terhadap peraturan pemerintah selama pemerintah melakukan apa yang disepakati. Ketika pemerintah tidak melakukan apa yang disepakati, rakyat dapat mengambil haknya berupa pelengseran pemerintah tersebut dan menggantinya dengan pemerintah yang baru. Dan saat itu terjadi, revolusi bergulir kembali.

Pentingnya Konstitusionalisme pada Zaman Nuklir

            Runtuhnya Nazi Jerman, Fasisme Italia, Kekaisaran Turki dan Pecahnya Uni Soviet menjadi gambaran bahwa kebangsaan saja tidak cukup menjadi unsur kebangkitan suatu bangsa, diperlukan pula demokrasi representatif. Hal ini semakin terbukti dengan berkembang pesatnyta Negara yang menggunakan demokrasi representatif dan kebangsaan secara berdampingan. Kebangkitan Negara ketiga seperti Negara-Negara Asia-Afrika menjadi bukti kuat akan hal itu. Diperlukan kontrak sosial antar bangsa-bangsa di dunia ini untuk menjunjung tinggi konstitusi bangsa masing-masing dan bersatu di bawah bendera perserikatan bangsa-bangsa (PBB) demi menjaga perdamaian dunia di tengah-tengah zaman nuklir sekarang ini.

            Betatapun, perang tak dapat dihindari. Baruch Spinoza pernah berkata, kedamaian bukanlah ketiadaan perang, tapi ketenangan batin. Dari proposisi tersebut dapat dipahami bahwa kedamaian dan perang bukanlah antitesa. Hal ini harus dipahami, karena ada sebagian bangsa yang memakai alibi “perang demi menjaga perdamaian”. Kedamaian bisa tetap ada meski perang terjadi. Berarti perang dengan alibi menjaga perdamaian tidak dapat dibenarkan. Hanya ada dua motivasi perang; ekspansi kekuasan dengan menyerang bangsa lain atau mempertahankan hak-hak suatu bangsa demi keadilan. Maka tepatlah kata pendiri bangsa kita, bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.

Labels: