Konstitusi Bernegara

Hasil gambar untuk buku Konstitusi BernegaraBagian pertama resensi buku Konstitusi Bernegara ini menyoal masalah aktualisasi dan potret konstitusi dalam praksis kenegaraan. Bagian pertama buku ini terbagi lagi ke dalam lima tulisan yang berbeda. Resentor akan meresensi kelima tulisan tersebut masing-masing dalam satu paragraf dengan subjudul yang sesuai dengan judul tulisannya. Resentor akan berupaya mencari koherensi setiap tulisan sembari menyusunnya dalam paragraf yang sistematis.

Membangun Indonesia yang Bermartabat Berdasarkan UUD 1945

Membangun Indonesia yang bermartabat adalah sebuah upaya sadar untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia, khususnya pembangunan atau peningkatan kualitas sumber daya manusianya. Mulai dari penegakan hukum, pemberantasan korupsi, peningkatan harapan hidup, kesejahteraan ekonomi dan sosial, serta upaya-upaya pembangunan manusia dan kemanusiaan lainnya. Adapun aturan main atau kaidah yang digunakan mestilah suatu kaidah yang merupakan kontrak sosial yang telah disepakati bersama. Kaidah tersebut tentulah UUD 1945 yang bukan saja konstitusi di bidang hukum, melainkan pula konstitusi politik, ekonomi, dan sosial. Upaya tersebut merupakan agenda reformasi. Upaya tersebut pula sudah diawali dengan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dari perubahan pertama pada tahun 1999 hingga perubahan keempat pada tahun 2002.

Konstitusi sebagai Pemersatu Bangsa

Untuk mewujudkan visi membangun martabat Indonesia, diperluakan pemahaman menengai subyek yang ingin dibangun martabatnya tersebut, yaitu manusia Indonesia. Fakta sosial masyarakat Indonesia yang plural, meniscayakan bahwa dengan memahami perbedaanlah satu-satunya solusi agar kita dapat bersatu. Diri sendiri benar namun dimungkinkan salahnya. Orang lain salah, namun dimungkinkan benarnya. Prinsip dasar tersebut hanya dapat ditegakkan melalui jalan demokrasi. Bahwa setiap indvidu harus diberikan haknya untuk menyuarakan aspirasinya. Dan individu tersebut harus melebur pada kontrak sosial yang telah disepakati. Lagi-lagi, aturan main mengenai demokrasi sebagai jalan penyatu pluralitas tersebut sudah ditegaskan dalam UUD 1945 sebagai konstitusi bernegara Indonesia. Konstitusi menjadi pemersatu bangsa Indonesia yang plural atau beragam tersebut.

Aktualisasi dan Perbandingan Ideologi

Agar konstitusi sebagai hukum tertinggi yang ada pada suatu Negara dapat berjalan sesuai dengan kehendak rakyat, harus disusun suatu konstitusi yang berdasar kepada pandangan hidup atau ideologi bangsa tersebut. Ideologi menjadi rujukan bagi pembentukan sistem hukum bangsa tersebut, termasuk konstitusinya. Dalam konteks keindonesiaan, konstitusi harus dibangun berdasar pada ideologi Negara dan bangsa Indonesia, yaitu ideologi Pancasila. Saking koherennya, maka legitimasi ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Maka, antara pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh yang memuat Pasal-pasal UUD 1945 memang telah diupayakan agar termaktub dalam suatu konstitusi yang koheren dan komprehensif. Jadi, berkontitusi berarti berpancasila.

Pancasila dan Konstitusi Indonesia

Susbtansi dari setiap konstitusi setidaknya memuat tiga unsur dasar, yaitu; kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama, kesepakatan tentang supremasi hukum dalam bernegara, dan kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan. Substansi pertama telah termuat dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang Pancasila sebagai Dasar Negara dan tentang Tujuan Negara. Substansi kedua tentang supremasi atau pengutamaan hukum telah termuat dalam pasal 3 UUD 1945 yang berbunyi; Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sementara substansi ketiga termuat dalam Pasal-Pasal UUD 1945 yang mengatur tentang bangunan organ Negara dan prosedur-prosedur yang mengatur kekuasaannya, hubungan antar organ Negara itu satu sama lain, serta hubungan antar organ Negara itu dengan warga Negara. Maka dapat pula diterapkan proposisi sebaliknya, bahwa berpancasila berarti berkonstitusi.

Memperkokoh Silaturrahim Nasional, Mewujudkan Tujuan Nasional Berdasarkan Konstitusi

Koherensi dalam artikel ini dapat dijabarkan sebagai berikut; bahwa untuk membangun martabat Indonesia, perlu pemahaman mengenai keragaman manusia-manusia Indonesia itu sendiri. Adapun jalan untuk membangunnya diperlukan sistem demokrasi yang dipertegas dalam konstitusi Negara. Di sisi lain, konstitusi Negara tersebut haruslah sesuai dengan pandangan hidup dan ideologi bangsa Indonesia. Konstitusi lagi-lagi menegaskan kedudukan Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara dalam pembukaan UUD 1945. Maka, untuk memperkokoh silaturrahim nasional atau persatuan bangsa, yang merupakan salah satu tujuan Negara dan Sila dalam Pancasila, diperlukan penegakan terhadap konstitusi.

Bagian kedua buku Konstitusi bernegara karya Jimly Asshiddiqie ini menyoal tentang akuntabilita hukum dan penyelenggaraan Good Governance. Seperti pada bagian pertama, bagian kedua buku ini juga terdiri atas lima subjudul. Resentor akan membaginya pula ke dalam 5 paragraf yang mewakili substansi dari kelima subjudul tersebut.

Good Governance

Berbeda dengan istilah good goverment yang hanya terbatas pada  bagaimana menjadi pemerintah yang baik, good governance relatif lebih luas cakupannya, yaitu tentang menjalankan pemerintahan yang baik. Jadi, bukan hanya sekadar lembaga pemerintah, khususnya eksekutif, saja yang menjadi aktor, tetapi seluruh elemen pemerintahan, mulai. Terdapat 3 unsur penting dalam mengimplementasikan good governance, yaitu Negara, Pasar, dan Masyarakat. Dominasi suatu unsur atas unsur lainnya, akan mengakbitkan ketimpangan. Dominasi negara melahirkan otoriter yang mengancam demokrasi. Dominasi pasar melahirkan kesenjangan ekonomi yang dikuasai oleh segelintir elite kapitalis. Dominasi masyarakat melahirkan anarki. Maka, ketiga unsur tersebut harus berjalan berkelindan dan seimbang. Itulah tiga cabang kekuasaan baru. Inilah trias politica modern.

Negara Hukum sebagai Organ dalam Implementasi Tata Pemerintahan yang Baik

Untuk mengimplementasikan cita good governance atau tata pemerintahan yang baik diperlukan suatu organ yang padanya cita-cita tersebut dapat dijalankan. Adapun organ yang dimaksud adalah Negara berdasar Hukum (Rechtsstaat), bukan Negara berdasar kekuasaan belaka (Machtsstaat). Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Pernyataan tersebut dilegitimasi secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3).  Dalam suatu Negara Hukum, terdapat setidaknya 12 prinsip yang menjadi penyangga berdirinya Negara Hukum yang dimaksud. Kedua belas prinsip tersebut, diantaranya; supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ pemerintahan yang independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha Negara, Peradilan tata Negara, Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat demokratis, Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan Bernegara, serta Transparansi dan kontrol sosial.

Sistem Hukum Nasional

Negara hukum beserta kedua belas prinsipnya dapat terlaksana jika hukum diimplementasikan sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem adalah suatu kesatuaan unsur-unsur yang saling berhubungan dan bekerja demi terwujudnya suatu tujuan tertentu. Adapun unsur-unsur hukum adalah; struktur (kelembagaan), substansi (kaidah aturan), dan kultur (perilaku para subyek hukum yang ditentukan oleh kaidah aturan). Nah, untuk mencapai tujuan hukum nasional berdasar Pancasila, maka setiap unsur-unsur harus berhubungan dan bekerja dengan baik. Kelembagaan Negara, mulai dari lembaga tinggi Negara (Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MK dan MA) hingga lembaga daerah setingkat kabupaten harus menjalankan kewenangan dan fungsinya sesuai amanat konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku. Utamanya bagi lembaga penegak hukum, seperti polisi, hakim, jaksa, dan pengacara. Kaidah aturan harus dibuat berdasarkan pandangan hidup dan cita-cita luhur bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan pandangan kelompok partai, atau pribadinya. Sementara perilaku para subyek hukum, yaitu semua warga negara harus mematuhi kaidah aturan yang telah disepakati bersama. Sinergi dari setiap unsur tersebutlah yang nantinya akan mewujudukan tujuan hukum dalam suatu sistem hukum nasional.

Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia

Agenda pembangunan hukum di Indonesia mendapati puncaknya pasca reformasi 1998, di mana amandemen konstitusi yang dilakukan MPR berhasil melakukan pembaruan hukum yang tadinya hanya berjumlah 71 Pasal UUD 1945 menjadi 199 Pasal UUD 1945 amandemen. UUD 1945 bukan sekadar konstitusi hukum, tetapi juga konstitusi ekonomi, politik, dan sosial. Pembaruan hukum tersebut juga melegitimasi 28 lembaga Negara yang disebut dalam konstitusi. Namun, segala bentuk pembaruan hukum tersebut tidak artinya jika tidak dibarengi dengan upaya penegakan hukum (law enforcement), yaitu kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggarann atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur pengadilan atau mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Lebih luas lagi, yaitu upaya menjalankan hukum sebagaimana mestinya. Adapun aktor utama dalam penegakan hukum adalah polisi, hakim, jaksa dan pengacara, baik secara individu maupun kelembagaan. Peningkatan mutu dan kesejahteraan profesi hukum mutlak diperlukan demi pembangunan hukum dan penegakan hukum di Indonesia.

Membangun Sistem Kelembagaan secara Konstitusional

Pelaksana konstitusi adalah semua organ-organ negara, baik lembaga-lembaga negara maupun warga negara. Upaya membangun sistem kelembagaan secara konstitusional tidak dapat dilaksanakan oleh satu organ, apalagi satu lembaga negara saja. Lembaga negara, baik dari lembaga tinggi negara, lembaga negara biasa, lembaga pemerintah, lembaga khusus, hingga lembaga daerah, harus menjalankan wewenang dan fungsinya sesuai UUD 1945 dan peraturan-peraturan yang berlaku. Begitupun dengan warga negara, pemahaman mengenai pentingnya menjadi warga negara yang baik mutlak digalakkan demi terwujudnya tujuan bernegara dalam konteks good governance.

Melanjutkan resensi buku Kontitusi Bernegara yang sudah terbit 2 artikel, kali ini resentor akan menulis resensi bagian ketiga buku tersebut. Adapun pembahasan artikel kali ini sesuai dengan subjudul bukunya, yaitu Wajah Demokrasi Pasca Perubahan UUD 1945. Keempat paragraf berikut ini akan mewakili gagasan utama dalam subjudul buku tersebut.

Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional

Gagasan perubahan UUD 1945 sebenarnya telah marak pada awal orde baru. Menurut Mahfud MD terdapat beberapa kelemahan UUD 1945 pra amandemen, yaitu cenderung executive heavy, banyak pasal yang multi tafsir dan ambigu, dan lebih mengutamakan semangat penyelanggara Negara ketimbang sistemnya. Walhasil, amandemen baru dilakukan pada sidang MPR 1999-2002 dengan beberapa kesepakatan awal, yaitu; tidak mengubah pembukaan UUD 1945, mempertahankan bentuk NKRI, mengembangkan sistem presidensiil, memindahkan hal-hal normatif pada penjelasan ke dalam pasal-pasal, dan menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen. Sehingga pasca amandemen terdapat 28 lembaga Negara yang disebut dalam UUD 1945 dan paripurnalah UUD 1945 sebagai suatu konstitusi politik, ekonomi, dan sosial.

Demokrasi dan Hak Asasi Manusia

UUD 1945 pasca amandemen dapat dikatakan sebagai suatu konstitusi yang sama sekali baru. Karena dari 71 ayat, sekarang menjadi 199 ayat. Muatan mengenai demokrasi dan hak asasi manusia juga lebih komprehensif dan spesifik. Konsepsi HAM versi DUHAM 1948, Kovenan PBB 1966 dan 1986 diratifikasi dan lebih dikembangkan dalam pasal-pasal tentang HAM pada UUD 1945 pasca amandemen. HAM bukan hanya berdimensi vertikal, yaitu antara warga negara dengan pemerintah. Tetapi juga berdimensi horizontal, yaitu sesama warga negara. Bahkan antara warga negara, pemerintah, dengan pasar atau korporasi.

Sistem Politik Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945

Dalam bidang politik terdapat pula banyak perubahan. Seperti kelembagaan negara, infrastuktur politik, fungsi partai politik, serta mekanisme pemilihan umum. Dalam kelembagaan negara, telah bergeser dari pembagian kekuasaan menuju pemisahan kekuasaan yang lebih koreksional dan seimbang. Dalam infrastruktur dan fungsi partai politik, peran partai lebih disempurnakan menjadi artikulator masyarakat, rekruitmen calon pemimpin, dan pengendali kebijakan pemerintah eksekutif. Sementara dalam mekanisme pemilihan umum, telah dikembangan sistem pemilihan mekanis dan proposional, KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum, dan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadil sengketa hasil pemilihan umum.

Tantangan Pelaksanaan UUD 1945 Pasca Perubahan

            Berbicara mengenai pelaksanaan konstitusi, maka kita akan berbicara mengenai aspek aksiologis atau fungsi praktis dari konstitusi itu sendiri. Terdapat beberapa fungsi konstitusi seperti; pembatas kekuasaan Negara, sumber legitimasi, pemersatu bangsa, pengendali dan perekayasa pembaruan masyarakat. Sementara nilai konstitusi menurut Karl Loewenstein terdiri atas 3 nilai; nilai normatif yang dipahami dan dipatuhi oleh masyarakat, nilai nominal yang tidak dijadikan rujukan dan tidak dipatuhi oleh masyarakat, dan nilai semantik yang hanya dihargai sebagai keluhuran di atas kertas, jargon, semboyan, atau alat pembenaran belaka. Maka, untuk melaksanakan UUD 1945, diperlukan penataan sistem aturan, penataan kelembagaan, pemisahan  kekuasaan dan check balances, peningkatan pemahaman penyelenggara negara dan masyarakat, dan domestikasi UUD 1945 ke dalam bahasa daerah masing-masing.

Bagian kedua buku Konstitusi bernegara karya Jimly Asshiddiqie ini menyoal tentang akuntabilita hukum dan penyelenggaraan Good Governance. Seperti pada bagian pertama, bagian kedua buku ini juga terdiri atas lima subjudul. Resentor akan membaginya pula ke dalam 5 paragraf yang mewakili substansi dari kelima subjudul tersebut.

Good Governance

Berbeda dengan istilah good goverment yang hanya terbatas pada  bagaimana menjadi pemerintah yang baik, good governance relatif lebih luas cakupannya, yaitu tentang menjalankan pemerintahan yang baik. Jadi, bukan hanya sekadar lembaga pemerintah, khususnya eksekutif, saja yang menjadi aktor, tetapi seluruh elemen pemerintahan, mulai. Terdapat 3 unsur penting dalam mengimplementasikan good governance, yaitu Negara, Pasar, dan Masyarakat. Dominasi suatu unsur atas unsur lainnya, akan mengakbitkan ketimpangan. Dominasi negara melahirkan otoriter yang mengancam demokrasi. Dominasi pasar melahirkan kesenjangan ekonomi yang dikuasai oleh segelintir elite kapitalis. Dominasi masyarakat melahirkan anarki. Maka, ketiga unsur tersebut harus berjalan berkelindan dan seimbang. Itulah tiga cabang kekuasaan baru. Inilah trias politica modern.

Negara Hukum sebagai Organ dalam Implementasi Tata Pemerintahan yang Baik

Untuk mengimplementasikan cita good governance atau tata pemerintahan yang baik diperlukan suatu organ yang padanya cita-cita tersebut dapat dijalankan. Adapun organ yang dimaksud adalah Negara berdasar Hukum (Rechtsstaat), bukan Negara berdasar kekuasaan belaka (Machtsstaat). Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Pernyataan tersebut dilegitimasi secara konstitusional dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3).  Dalam suatu Negara Hukum, terdapat setidaknya 12 prinsip yang menjadi penyangga berdirinya Negara Hukum yang dimaksud. Kedua belas prinsip tersebut, diantaranya; supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ pemerintahan yang independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha Negara, Peradilan tata Negara, Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat demokratis, Berfungsi sebagai sarana mewujudkan Tujuan Bernegara, serta Transparansi dan kontrol sosial.

Sistem Hukum Nasional

Negara hukum beserta kedua belas prinsipnya dapat terlaksana jika hukum diimplementasikan sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem adalah suatu kesatuaan unsur-unsur yang saling berhubungan dan bekerja demi terwujudnya suatu tujuan tertentu. Adapun unsur-unsur hukum adalah; struktur (kelembagaan), substansi (kaidah aturan), dan kultur (perilaku para subyek hukum yang ditentukan oleh kaidah aturan). Nah, untuk mencapai tujuan hukum nasional berdasar Pancasila, maka setiap unsur-unsur harus berhubungan dan bekerja dengan baik. Kelembagaan Negara, mulai dari lembaga tinggi Negara (Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MK dan MA) hingga lembaga daerah setingkat kabupaten harus menjalankan kewenangan dan fungsinya sesuai amanat konstitusi dan Undang-Undang yang berlaku. Utamanya bagi lembaga penegak hukum, seperti polisi, hakim, jaksa, dan pengacara. Kaidah aturan harus dibuat berdasarkan pandangan hidup dan cita-cita luhur bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945, bukan berdasarkan pandangan kelompok partai, atau pribadinya. Sementara perilaku para subyek hukum, yaitu semua warga negara harus mematuhi kaidah aturan yang telah disepakati bersama. Sinergi dari setiap unsur tersebutlah yang nantinya akan mewujudukan tujuan hukum dalam suatu sistem hukum nasional.

Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia

Agenda pembangunan hukum di Indonesia mendapati puncaknya pasca reformasi 1998, di mana amandemen konstitusi yang dilakukan MPR berhasil melakukan pembaruan hukum yang tadinya hanya berjumlah 71 Pasal UUD 1945 menjadi 199 Pasal UUD 1945 amandemen. UUD 1945 bukan sekadar konstitusi hukum, tetapi juga konstitusi ekonomi, politik, dan sosial. Pembaruan hukum tersebut juga melegitimasi 28 lembaga Negara yang disebut dalam konstitusi. Namun, segala bentuk pembaruan hukum tersebut tidak artinya jika tidak dibarengi dengan upaya penegakan hukum (law enforcement), yaitu kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggarann atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur pengadilan atau mekanisme penyelesaian sengketa lainnya. Lebih luas lagi, yaitu upaya menjalankan hukum sebagaimana mestinya. Adapun aktor utama dalam penegakan hukum adalah polisi, hakim, jaksa dan pengacara, baik secara individu maupun kelembagaan. Peningkatan mutu dan kesejahteraan profesi hukum mutlak diperlukan demi pembangunan hukum dan penegakan hukum di Indonesia.

Membangun Sistem Kelembagaan secara Konstitusional

Pelaksana konstitusi adalah semua organ-organ negara, baik lembaga-lembaga negara maupun warga negara. Upaya membangun sistem kelembagaan secara konstitusional tidak dapat dilaksanakan oleh satu organ, apalagi satu lembaga negara saja. Lembaga negara, baik dari lembaga tinggi negara, lembaga negara biasa, lembaga pemerintah, lembaga khusus, hingga lembaga daerah, harus menjalankan wewenang dan fungsinya sesuai UUD 1945 dan peraturan-peraturan yang berlaku. Begitupun dengan warga negara, pemahaman mengenai pentingnya menjadi warga negara yang baik mutlak digalakkan demi terwujudnya tujuan bernegara dalam konteks good governance.

Labels: