Geneologi Intelegensia

Hasil gambar untuk buku genealogi intelegensiaPerbincangan mengenai geneologi merupakan perbincangan yang fokus pada studi tentang perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat, spesifik membahas tentang apa yang menyebabkan sesuatu terjadi dan apa akibat yang ditimbulkannya. Di dalam studinya, terbagi atas perubahan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Perubahan jangka pendek merupakan pergerakan masyarakat dari hari ke hari, hingga tahun ke tahun. Perubahan jangka menengah merupakan pergerakan masyarakat dari tahun ke tahun hingga dekade ke dekade. Sementara perubahan jangka panjang merupakan pergerakan masyarakat dari dekade ke dekade hingga abad ke abad. Perubahan masyarakat dalam jangka pendek, menengah dan panjang itulah yang kemudian dipelajari dalam studi geneologi.

Intelegensia dan Intelektual

Ada dua pendapat tentang persoalan intelengensia dan intelektual. Pendapat pertama cenderung menyamakan kedua istilah tersebut. Pendapat kedua berupaya menemukan pembeda dari kedua peristilahan tersebut, meskipun sebenarnya kedua istilah tersebut sedikit sekali perbedaannya. Tetapi demi kejelasan dan menjunjung semangat ilmiah, kita harus tetap berupaya menemukan pembedanya, jika memang ada. Pendapat pertama yang menyamakan istilah Intelegensia dan Intelektual mengartikan keduanya sebagai kemampuan untuk berpikir lebih komprehensif dan intensif. Sementara pendapat yang kedua menyatakan bahwa pengertian yang diajukan oleh pendapat pertama memang terdapat persamaan hanya pada segi jenis. Namun tetap terdapat perbedaan pada diferensia atau pembeda dari kedua istilah tersebut. Adapun pembedanya adalah intelengensia cenderung disematkan pada suatu kaum atau kelompok yang memiliki kecenderungan akan persamaan latar belakang budaya. Sementara intelektual dapat disematkan baik kepada individu maupun kaum atau kelompok yang menyatu karena kecenderungan akan persamaan pemikiran lintas budaya, bahkan pandangan dunia.

Muslim

Definisi Muslim yang dimaksud dalam buku Yudi Latif ini, bukanlah definisi muslim yang hakiki, yaitu manusia yang beragama Islam secara taat dan berserah diri. Definisi muslim dalam perbincangan ini lebih kepada individu, kelompok baik itu partai politik maupun lembaga pendidikan yang menjadikan basis gerakannya pada orientasi keislaman.

Indonesia

Indonesia yang dimaksud dalam buku Yudi Latif ini berpusat pada substansi Indonesia secara materiil, yaitu pulau Jawa. Diakui atau tidak, Jawa merupakan episentrum peradaban Indonesia. Hal itu bukan saja dikarenakan pendudukan kaum imperialis pertama kali dilakukan di tanah Jawa, tetapi karena unsur-unsur kebudayaan yang ada padanya memang relatif lebih maju ketimbang daerah lain di Indonesia. Jawa setingkat lebih mumpuni secara kualitas dan kuantitas. Jawa setingkat lebih maju secara infrastruktur dan suprastruktur. Hanya sumber daya alam yang membuat Jawa tidak sepenuhnya sempurna dibanding daerah lain di nusantara ini. Jadi, Intelegensia muslim Indonesia yang dimaksud di sini, adalah Intelengensia muslim pemikir Jawa, dan sebagian kecil sumatera.

Kuasa

Michael Foucault mendefinisikan kuasa sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pilihan manusia-manusia yang bebas dan merdeka. Karena mempengaruhi manusia yang tidak bebas dan merdeka, seperti budak, bukanlah perkara sulit dan tergolong sebagai kuasa sepenuhnya. Ada beberapa sumber kekuasaan, diantaranya adalah karena otoritas, pengetahuan, usia, ikatan kekeluargaan, ekonomi, etika, kekuatan fisik, hingga pada sesuatu yang bersifat transendental. Yudi Latif dalam karyanya ini menjelaskan relasi antara pengetahuan dan kekuasaan. Dari mana pengetahuan seorang pemikir berasal dan apa pengaruhnya terhadap kekuasaan. Begitupun sebaliknya, dari mana kekuasaan para penguasa berasal dan apa pengaruhnya terhadap pengetahuan (pendidikan).

Relevansi 5 Konsep di atas

Jadi, pembahasan mengenai geneologi Intelegensia Muslim Indonesia adalah pembahasan mengenai bagaimana seorang pemikir muslim Indonesia mendapatkan latar belakang pengetahuan dan apa pengaruhnya pada institusi kekuasaan. Dan sebaliknya, bagaimana kekuasaan diperoleh dan apa pengaruhnya pada pergolakan pemikiran, pengetahuan dan pendidikan para pemikir muslim Indonesia. Dan harus dicatat pula, bahwa pembahasan dalam buku ini mencakup metode sinkronik dan diakronik yang spesifik menggali wacana dan praktik dirkusif intelengensia muslim Indonesia pada abad 20.

Bagian II

Hal yang menarik dari studi geneologi adalah kita dapat mengetahui apa yang menyebabkan sesuatu terjadi dan apa dampak yang dipengaruhinya. Revolusi para pendiri bangsa, baik pada kongres kepemudaan II (sumpah pemuda) pada tanggal 28 Oktober 1928, maupun pada proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, harus dilihat dalam perspektif geneologis.


Kausalitas perubahan suatu masyarakat menentukan bahwa suatu tatanan masyarakat sekarang dipengaruhi oleh tatanan masyarakat yang lalu, sekaligus mempengaruhi tatanan masyarakat pada masa depan. Nah, jika dikontekstualisasikan dengan ikrar para pemuda seluruh Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928 tersebut, maka kita harus menelusuri apa yang terjadi sebelum peristiwa itu. Bukan hanya sekadar peristiwa harian, tapi peristiwa dekade sebelumnya. Bukan hanya peristiwa satu pemikiran, tapi pemikiran kolektif pemikir dekade 1900-1920 di Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda.

Upaya kaum Liberal Belanda dan khususnya Politik Etis dari Ratu Wilhemha yang ingin melakukan balas budi terhadap wilayah jajahan dalam hal ini Hindia Belanda membuahkan suatu kebijakan yang memerintahkan untuk diselenggarakannya pendidikan di Hindia Belanda. Berangsur-angsur, setelah dibukanya lembaga pendidikan bertaraf sekolah dasar, disusul sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga sekolah kejuruan. Berangsur-angsur pula, setelah terjadi stratifikasi peserta didik antara kaum Eropa, Priayai, keturunan dan pribumi, hingga suka tidak suka, dikarenakan keterbukaan pemikiran, mulai memudar sekat-sekat kelas sosial tersebut. Meningkatnya minat terhadap pendidikan, membuat warga Hindia Belanda semakin sadar atas hak-hak, kewajiban dan konsekuensi dari hak dan kewajiban, yaitu keadilan. Inilah yang menjadi latar belakang pergolakan pemikiran dan pergerakan pada waktu itu, yakni terbukanya akses pendidikan.

Intelek Ulama

Terdapat dua arus utama dari intelengensia muslim pada dekade awal abad 20 di Hindia Belanda, yaitu Intelek Ulama dan Ulama Intelek. Intelek Ulama adalah mereka yang keturunan priayai dan bersekolah pada lembaga pendidikan sekular modern ala Barat, yang karena tidak sudi meninggalkan identitas Islam-nya membuat mereka melakukan upaya modernisasi metodologi pendidikan dengan tetap berasaskan pada ajaran-ajaran Islam yang substansial dan universal. Contoh dari intelek ulama adalah Cokromianoto, Cipto Mangunkusomo dan Agus Salim. Intelek Ulama menjadikan perhimpunan, klub sosial dan penerbitan sebagai ruang aktualisasi dirinya. Contoh perhimpunan yang umumnya dimasuki oleh para intelek ulama adalah Sarikat Islam dan Budi Oetama. Intinya, intelek ulama adalah mereka yang berlatar belakang pendidikan Barat tapi juga melek pengetahuan Islam.

Ulama Intelek

Greetz membagi masyarakat Jawa dalam trikotomi hierarkis; satu, golongan priayai adalah mereka yang keturunan bangsawan dan umumnya masih memegang ajaran Hindu-Budha. Kedua, golongan abangan adalah warga biasa yang mencari penghidupan sebagai petani dan masih memegang tradisi keyakinan animisme. Ketiga, golongan santri adalah mereka yang bermukim di desa terpencil dan belajar pada pesantren-pesantren tradisional Islam. Klasifikasi Greetz tersebut agaknya serampangan karena ternyata pada realitasnya terdapat kaum priayai yang memeluk dan mengamalkan agama Islam. Lagi pula, stratifikasi tersebut pada faktanya terbantahkan dengan hadirnya ulama intelek. Ulama Intelek adalah mereka yang berlatar belakang pendidikan agama di pesantren tradisional Islam, namun karena memerhatikan efisiensi dan efektivitas metodologi pengajaran ala Barat, membuat mereka melakukan upaya sinkronisasi ajaran Islam dan Kurikulum Barat. Adapun metodologi Barat yang dimaksud, seperti kurikulum, ruang kelas, bangku, meja, papan tulis, Ijazah, ujian hingga kelas berjenjang. Upaya sinkronisasi tersebut yang kemudian melahirkan madrasah. Para ulama intelek tersebut kebanyakan tidak hanya belajar di pesantren. Tetapi juga hingga ke Timur Tengah, seperti Al Azhar di Mesir, khususnya Harramain di Mekkah.

        Ulama Intelek ini terbagi dua secara garis besar, yaitu kalangan Reformis-Modernis dan kalangan Tradisionalis-Konservatif. Kalangan Reformis-Modernis mengusung purifikasi ajaran Islam di satu sisi, dan pembaruan metodologi dakwah yang relevan dengan prinsip Islam. Kalangan ini menjadi cikal bakal berdirinya Organisasi Muhamaddiyah pada tahun 1912. Kalangan Tradisionalis-Konservatif mengusung tema defensifikasi kultur Islam Hindia dan toleransi atas aliran tarekat-tarekat Sufi yang tidak menyimpang, tentunya. Kalangan ini menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Nahdatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Muhamaddiyah dipelopori oleh Ahmad Dahlan. Nahdatul Ulama dipelopori oleh Hasyim Asyari. Kedua ulama tersebut merupakan cetakan Ideal bagi sebutan Ulama Intelek.

Bagian III

Public sphare atau ruang publik adalah suatu istilah yang diungkapkan oleh Jurgen Habermass yang merujuk pada apa saja yang dapat membentuk opini publik. Ruang publik menjadi begitu penting karena dengannya identitas kolektif dapat diidentifikasi sejauh mana pola pergerakannya dan mau kemana pergerakan tersebut. Ruang publik tentulah merupakan salah satu katalis perubahan sosial. Ruang publik akan melakukan stimulasi bagi gerakan sosial baru, nantinya. Dalam konteks Indonesia atau Hindia Belanda, dalam hal ini pada rentang waktu 1900-1920, terdapat dua unsur penyemai ruang publik, yaitu perhimpunan sosial dan lembaga penerbitan.

Perhimpunan Sosial

Dua dekade pertama pada abad 20 yang baru merupakan embrio bagi tumbuh dan berkembangnya intelengensia Indonesia yang kelak menjadi pemantik kesadaran Nasional. Dua dekade ini ditandai dengan menjamurnya perhimpunan-perhimpunan pribumi berbasis multi orientasi, diantaranya;
Ada yang bertujuan semangat religiusitas seperti Sarikat Dagang Islam yang kemudian bermetamorfosis menjaga Sarikat Islam demi ekspansi gerakan sosial politik. Sarikat Dagang Islam berdiri pada tahun 1908 dan berubah menjadi Sarikat Islam pada 1912. Tokohnya yang paling terkenal adalah Hadji Oemar Said Cokromianoto dan Hadji Mishbah yang digelari Hadji Merah karena kecenderungan komunisnya. Organisasi berbasis keislaman yang lain adalah Muhamaddiyah yang didirikan pada tahun 1912 oleh Achmad Dahlan dan 14 tahun kemudian, yaitu tahun 1926 organisasi Islam terbesar saat ini, Nahdatul Ulama, diprakarsasi pendiriannya oleh Hasyim Asyari, kakek dari Presiden Indonesia ke 4, Abdurahman Wahid (Gusdur).

Ada pula yang bercorak kepemudaan dan kemerdekaan, seperti pemuda peladjar dan satu yang paling monumental, yaitu Beodi Oetomo. Dikatakan monumental, karenabtanggal pendirian organisasi ini yang sekarang diperingati sebagai hari kebangkitan Nasional, 20 Mei. Pada tahun pendiriannya, yaitu 1908 terdapat semacam "bola salju" kebangkitan Negara-Negara Asia untuk meraih momentum melepaskan diri dari kolonialisme. Peristiwa itu diawali dengan menangnya Jepang atas Rusia pada 1905.

Jong Java, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak dan lainnya merupakan perhimpunan dengan ikatan etnis sebagai simpul persatuan mereka. Pada dekade kedua abad 20, organisasi berbasis etnis banyak lahir. Akumulasi dari perhimpunan berbasis etnis inilah yang nantinya menciptakan kesadaran Nasional dan mendapati puncaknya pada Kongres Kepemudaan II atau yang lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Terakhir adalah perhimpunan berbasis ideologi. Dikarenakan pemerintah kolonial pada waktu itu mewakili ideologi liberal yang merupakan derivasi dari partai pemenang parlemen di Belanda, praktis perhimpunan dengan basis ideologi Liberal tidak begitu diminati. Berpunggungan dengan itu, perhimpunan dengan basis sosialis-komunis justru memiliki banyak pengikut. NIVB dan ISDV adalah dua organisasi sosialis-komunis yang berjaya pada waktu itu. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat semangat yang dibawa oleh perhimpunan tersebut adalah mission sacre berupa perjuangan atas ketidakadilan dalam bidang sosial dan kapitalisme dalam bidang ekonomi. Dua perhimpunan tersebut yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Komunis Indonesia di mana Semaun dan Hadji Mishbah (yang juga anggota Sarikat Islam) dan Tan Malaka mengaktualisasikan potensinya.

Lembaga Penerbitan

Selain perhimpunan, lembaga penerbitan merupakan ruang publik yang ideal kala itu. Dengan lembaga penerbitan, utamanya majalah mingguan dan koran, pertukaran wacana dan praktik dirkusif menuai medannya. Pada dekade pertama abad 20, lembaga penerbitan masih dikuasai oleh orang Eropa, Indo Eropa, atau paling tidak pedagang China. Baru pada dekade kedua abad 20, majalah dan koran milik pribumi mulai aktif menyuarakan ide-idenya. Hal ini kurang lebih sama dengan apa yang terjadi dengan perhimpunan-perhimpunan Hindia Belanda yang mencontoh klub sosial bergaya Eropa dan apa yang dilakukan oleh orang Eropa tersebut.

     Peniruan, mimikri atau apropriasi ini adalah suatu upaya meniru apa yang dilakukan penjajah agar pihak yang dijajah dapat lepas dari penjajahan tersebut. Adapun lembaga pers yang terkenal saat itu adalah Medan Priayai, Soeara Mardika, Al Munir dan lain sebagainya. Selain majalah dan koran, buku (khususnya karya sastra seperti novel) merupakan media baca yang turut mengoptimalkan keterbukaan informasi dan komunikasi pada waktu itu. Meskipun masih kalah pamor dibanding koran dan majalah. Hak itu disebabkan karena biaya produksi buku yang lebih mahal dari majalah dan koran. Selanjutnya, kita akan membahas mengenai apa yang terjadi pada Intelegensia Muslim Indonesia pada rentang waktu 1920-1945.

Bagian IV

Intelegensia generasi pertama, yaitu pemikir dan penggerak kemajuan yang lahir akhir abad 19 menjadi lahan subur bagi tumbuh dan berkembangnya intelengensia kedua yang lebih progresif lagi dan melahirkan bukan saja klub sosial dan lembaga penerbitan, tetapi juga partai politik yang menjadi ruang publik bagi bertemunya ragam ideologi, intelegensia dan tentunya aksi massa yang lebih masif dan real. Ada banyak peristiwa besar yang terjadi pada dekade 1920-1945 ini. Mulai dari pertentangan wacana antar perhimpunan yang dipelopori oleh tokoh seperti Soekarno dan Hatta, maupun pertentangan antara sesama organisasi seperti Agus Salim dengan Semaun yang berideologi komunis dalam Sarikat Islam.

Pasca Great Depression pada era 1930-an yang melanda dunia akibat perang dunia pertama, Belanda mulai kehilangan kendali baik di Negeri Belanda maupun di negeri Jajahannya, yaitu Hindia Belanda. Hal itu terbukti dengan mudahnya Jepang mengambil alih kekuasaan di Indonesia pada Januari 1942. Para pakar sejarah justru menggangap bahwa pada tahun inilah yang merupakan tahun kemerdekaan Indonesia, setidaknya secara substansi.

Jepang yang datang dengan misi Saudara Tua Asia-nya ingin menjadi penguasa Asia Timur Raya. Seperti topeng politik etis Belanda, segera saja topeng asosiasi Jepang mulai terbuka dan menunjukkan wajah aslinya, yaitu kolonialisme dan eksploitasi sumber daya Indonesia. Namun, tidak selamanya superioritas penjajah dapat mengalahkan inferiotitas pihak yang terjajah. Selalu ada faktor eksternal dalam setiap gerak zaman. Lagi-lagi akibat kecamuk perang dunia, kali ini yang kedua, Jepang yang dikalahkan oleh sekutu harus merelakan Indonesia untuk menjadi Negara Indipenden seutuhnya. Momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh intelengensia kala itu. Dikotomi sekular dan Islam harus dilebur demi sesuatu yang lebih besar, yaitu kemerdekaan Indonesia. Hal ini penting, karena jika terlambat sedikit saja, pasukan sekutu akan segera mencaplok Indonesia untuk digilir jajah untuk kesekian kalinya.

7 Tradisi Politik Indonesia

Berdasarkan kecenderungan ideologis dan orientasi politik, terdapat setidaknya 7 tradisi politik yang mewarnai kehidupan intelengensia Indonesia pada dekade 1920-1945, diantaranya:

1. Tradisionalis Islam, ideologinya adalah Islam dengan metodologi lebih kepada apresiasi terhadap tradisi Islam Nusantara yang bertujuan untuk Tradisionalisasi Islam Indonesia dalam menuju Negara Islam. Tokohnya yang paling terkenal adalah Hasyim Asyari, Wahab Chasbullah dan Wahid Hasyim.

2. Reformis-Modernis Islam, ideologinya adalah Islam dengan metodologi pemurnian Islam dengan menerapkan teknologi modern, yang bertujuan untuk modernisasi Islam Indonesia dalam menuju Negara Islam Modern. Tokoh utamanya adalah Ahmad Dahlan, Agus Salim dan Muhammad Natsir.

3. Nasionalis, Ideologinya adalah sosialisme kebangsaan Indonesia dengan metodologi sekular dan apresiasi tradisi, yang bertujuan mendirikan Negara sekular modern dengan menghargai nilai adat dan leluhur. Tokoh utamanya adalah Soekarno dan Sutomo.

4. Sosialisme, ideologi adalah sosialisme Barat Modern dengan metodologi sekular dan teknologi barat modern, yang bertujuan untuk mendirikan Negara Sekular Modern. Tokoh utamanya adalah Hatta dan Syahrir.

5. Komunisme, ideologinya adalah komunis Rusia dengan metodologi sekular dan anti pemerintahan, yang bertujuan mendirikan Negara Komunis Sekular tanpa kelas. Tokoh utamanya adalah Tan Malaka, Muso dan Semaun.

6. Kristen, baik itu Kristen Khatolik maupun Protestan yang berideologi kristen dengan metodologi Barat modern, dan bertujuan mendirikan Negara Kristen Modern. Tokoh utamanya adalah Amir Syarifuddin yang merupakan keturunan Batak.

7. Militer, Tradisi politik ini lahir dari bentukan Jepang. Baik militer Peta yang merupakan sayap organisasi sekular yaitu PUTERA, maupun militer Hisbullah yanh merupakan sayap organisasi Islam yaitu MASYUMI. Metodologinya adalah pelatihan militer yang bertujuan untuk menjadi tentara cadangan Jepang melawan sekutu.

Bagian V

Negara Indonesia yang baru merdeka itu memberikan tempat yang layak bagi kaum Intelektualnya. Lembaga eksekutif termasuk Presiden, legislatif dan lembaga tinggi Negara lainnya diplot oleh kaum intelektual yang pernah berjuang saat zaman kolonialisme. Blok historis dan komunitas imajiner tentang Negara Indonesia yang dulu diidealkan sudah saatnya diaktualisasikan dalam kebijakan politik Negara baru tersebut. Konsepsi tentang General Welfare State-nya Jeremy Bentham, Demokrasi dan ide-ide Negara dan masyarakat ala Barat mulai menjadi topik segar yang "mutlak" diterapkan demi mengejar ketertinggalan akibat dampak penjajahan. Itulah tugas berat Soekarno (1945-1967) dan para intelektual Negara Indonesia yang merupakan Negara baru tersebut.

Politik pada Rezim Soekarno

Tingginya tingkat buta huruf pada Negara Indonesia yang baru merdeka tersebut merupakan masalah utama dalam pengentasan kemiskinan. Dikarenakan pendidikan bukan merupakan prioritas utama masyarakat Indonesia pada waktu itu, otomatis kesejahteraan rakyat Indonesia juga sulit meningkat. Di sisi lain, mental otoriter dan politik sempit jangka pendek dari para politisi melemahkan dan menyandra kebijakan pro rakyat. Imbasnya, program kerja pemerintah tidak terlalu menyentuh kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu. Buruknya kehidupan pendidikan, ekonomi dan politik pada waktu itu menyimpulkan bahwa impian tentang kehidupan post-kolonial justru membuat Indonesia mengenang memori buruk zaman penjajahan.

Kubu Pancasila vs Kubu Islam

Politik segregasi yang berusaha memecah belah suatu bangsa yang merupakan peninggalan kolonialisme ternyata masih membekas di ingatan kolektif para pemegang kebijakan Negara Indonesia awal itu. Segera saja, jika terdapat ketidakpuasan partai Islam terhadap pemerintah, maka visi mendirikan Negara Islam akan bergema kembali. Sebenarnya kubu Islam setuju saja dengan Pancasila sebagai Dasar Negara, selama tujuh kata yang dihilangkan (sempat ada pada teks piagam Jakarta) di belakang Sila Pertama dihadirkan kembali. Adapun tujuh kata di belakang "Ketuhanan Yang Maha Esa" adalah "Dengan Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya." Perdebatan hebat kubu Islam (Nasionalisme Religius) dan kubu Pancasila (Nasionalisme Sekular) berujung pada dibubarkannya Dewan Konstituante oleh Presiden Soekarno pada ujung kepengurusan Dewan tersebut yaitu pada 1958. Hal ini pula yang menjadi legitimasi Soekarno untuk mengganti demokrasi Konstitusional menjadi Demokrasi Terpimpin.

Keruntuhan Rezim Soekarno

Ketidakcocokan Demokrasi Barat dengan kondisi masyarakat Indonesia, gerakan separatis bermotif Islam dan kedaerahan membuat Soekarno memberlakukan pemerintahan otoriter dengan dibantu oleh angkatan darat dan PKI sebagai mitra koalisi strategisnya. Sikap anti kritik yang dipraktikkan oleh pemerintahan Soekarno tentunya berdampak buruk bagi kaum intelektual kritis dan lawan politiknya. Hal ini ditandai dengan diberangusnya pers dan dibungkamnya kaum intelektual yang mengkritik pemerintah, serta kemunduran partai politik lawan Soekarno, yaitu Partai Masyumi (Islam) yang dipimpin Muhammad Natsir dan Partai Sosialis Indonesia (Sekular) yang dipimpin Sutan Syahrir.

Akumulasi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat berujung pada demonstrasi masif, simultan dan kontinyu oleh para pelajar (PPI) dan Mahasiswa (HMI) pada rahim 1960. Demonstrasi tersebut didukung oleh oposan pemerintah dan angkatan Darat yang dibantu Amerika yang ingin memperlebar taipan kapitalisme yang sudah lama diblok oleh gerakan anti kolonialisme-nya Soekarno. Akhirnya kolaborasi politik (militer dan oposisi) dengan pendidikan (mahasiswa dan pelajar) menjatuhkan Rezim Soekarno yang kemudian dikenal dengan sebutan Orde Lama. Setelah itu, pemerintah dikuasai oleh Orde Baru, yaitu Rezim Soeharto.

Bagian VI

Runtuhnya rezim Soekarno (orde lama) dengan segera dimanfaatkan oleh angkatan darat guna melakukan mobilisasi politik pada pemerintahan Indonesia. Berdasarkan Surat Perintah 11 Maret (Super Semar) dari Presiden Soekarno kepada Panglima Kongstrad pada 1966 yaitu Jenderal Soeharto menandai berpindahnya kekuasaan eksekutif. Euforia kelompok lawan politik Soekarno ternyata tak berlangsung lama. Karena dengan segera, Soeharto memulai rezim Rust en Orde ala kolonial yang kemudian dikenal sebagai orde baru. Buktinya, Partai Masyumi tidak diberikan kesempatan untuk berdiri kembali. Bahaya Islam Politik yang dulu dinyatakan Snouck Hounrunge (pakar Islam di zaman Hindia Belanda) menjadi alasan Soeharto menolak rehabilitasi politik partai tersebut. Selain Partai Masyumi, Partai Komunis Indonesia juga benar-benar dimatikam baik dalam artian ideologi (substansi) maupun massa (fisik).

Rezim Represif-Develompentalisme

Demi modernisasi ekonomi,  Soeharto mencita-citakan paham developmentisme, yaitu paham yang bertujuan melakukan pembangunan pada bidang ekonomi. Maka, slogan pemerintahan pada era Soekarno yaitu "Politik sebagai Panglima" kemudian berganti menjadi "Ekonomi sebagai Panglima". Untuk merealisasikan paham tersebut, Soeharto kemudian membuka diri dengan dunia Kapitalisme Global yang diperoleh dari pertemanannya dengan Komunitas Khatolik dan kaum sekular dari tubuh TNI, kalangan pengusaha serta kaum teknokrat. Tetapi, Soeharto sadar betul bahwa tujuan tersebut takkan berhasil tanpa didukung oleh alat yang efisien.

Tujuan pembangunan ekonomi yang dicanangkan Soeharto kemudian menobatkannya sebagai bapak pembangunan. Demi efektivitas tujuan tersebut, alat yang paling efisien adalah stabilitas politik. Tanpanya, riak-riak politik akan membuat Rezim Soeharto berujung sama dengan rezim pendahulunya. Militer dan Golongan Karya (Golkar) kemudian menjadi dua organ yang berperan besar, meski dengan praktik-praktik manipulatif, semisal mencurangi Pemilu. Pembangunan ekonomi dan stabilitas politik dengan cara represif (menekan) mencirikan Rezim Soeharto sebagai Rezim Represif-Develompentalisme.

Keruntuhan Rezim Soeharto

Lagi-lagi, kolaborasi politik (oposisi) dengan pendidikan (gerakan mahasiswa dan LSM) yang menjadi katalis kejatuhan Soeharto. Meskipun yang disebutkan terakhir berperan lebih agresif. Politik Islam lahir kembali dengan ragam metode yang berbeda. Setidaknya terdapat 4 kelompok Islam secara garis besar yang dapat diidentifikasi:
1. Gerakan Dakwah, yang berpusat pada dakwah di masjid kampus. Pelembagaan gerakan dakwah diprakarsai oleh Muhammad Natsir setelah ditutupnya kran politiknya oleh pemerintah. Pelembagaan tersebut melahirkan Lembaga Dakwah Kampus yang aktor utamanya merupakan mantan aktivis HmI. Pada tahun 1998 gerakan dakwah mulai membesar dan terkenal dengan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

2. Gerakan Pembaharu, aktornya mendukung kebijakan modernisasi pemerintah. Walhasil banyak aktivisnya mendapatkan beasiswa pemerintah ke pusat studi Islam di Barat. Para pembaharu Islam diantaranya Nurcholis Madjid (Ketua PB HMI 1966-1968 dan 1968-1971), Dawam Rahardjo (aktivis HMI Yogyakarta), Abdurahman Wahid (NU), Jalaluddin Rachmat (Syiah), hingga Amien Rais dan Syafii Maarif (Muhamaddiyah). Para pendukung gerakan pembaharu Islam ini kemudian terbuka dengan wacana Barat seperti Demokrasi, HAM, hingga Inklusivisme.

3. Jalan Ketiga, adalah gerakan Islam melalui jalur masyarakat sipil dan seni, seperti Sufi. Pada Jalan Ketiga dan Sektor Kedua, gerakan dakwah dan gerakan pembaharu akhirnya bertemu.

4. Sektor Kedua, adalah gerakan Islam melalui bidang kewirausahaan seperti yang dilakukan oleh Jusuf Kalla dengan Kalla Grupnya. Patut dicatat, bahwa peran sektor kedua dalam hal pendanaan Gerakan gerakan Islam baik itu dakwah dan pembaharu terbilang cukup penting.

Itulah 4 kelompok Islam secara garis besar yang berkembang pada Rezim Soeharto. Gerakan ini kemudian melahirkan apa yang dikenal sebagai Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI).


Labels: