Manusia dan Alam Semesta

Gambar terkaitMengapa seseorang mendekatkan diri pada sesuatu? Mengapa pula seseorang menjauhkan diri pada sesuatu? Seseorang mendekatkan diri pada sesuatu karena ia senang terhadap sesuatu tersebut. Dan sebaliknya, seseorang menjauhkan diri pada sesuatu karena ia takut terhadap sesuatu tersebut. Nah, kesenangan dan ketakutan merupakan dua motivasi yang mendasari mengapa manusia mendekati dan menjauhi sesuatu.

Motivasi Kesenangan

Seseorang senang terhadap sesuatu karena ia menginginkan sesuatu tersebut. Kesenangan adalah mendapatkan apa yang diinginkan. Sementara keinginan adalah jenis spesifik dari pilihan-pilihan manusia. Contohnya manusia membutuhkan makanan, namun jenis spesifik dari pilihan makanan yang ia pilih, yaitu ayam goring, itulah keinginannya. Jadi, ia ingin makan ayam goreng. Dan jika keinginannya terpenuhi, maka ia senang. Adapun alat epistemologi yang digunakan adalah wahmi, hati atau perasaan. Seseorang yang menjadikan politik sebagai kesenangan atau keinginan, maka ia akan menjadi ambisi dan ketika ia memimpin ia akan menjadi penindas.

Motivasi Ketakutan

Seseorang takut terhadap sesuatu karena ia tidak menginginkan sesuatu tersebut. Ketakutan adalah mendapatkan apa yang tidak diinginkan. Contohnya, seseorang takut pada hantu, karena ia tidak menginginkan kehadiran hantu. Ia tidak menginginkan kehadirannya karena wajah seram atau daya menganggu dari hantu tersebut. Maka, praktis ia menjauhi segala perbincangan mengenai hantu apalagi mendekatkan diri dengan sosok hantu atau jin. Jika yang tidak diinginkan tersebut hadir, maka ia kemudian takut. Adapun alat epistemologi ketakutan adalah wahmi dan khayal. Seseorang yang menjadikan politik sebagai suatu ketakutan, maka ia akan ditindas dalam suatu masyarakat politik.

Motivasi Ketiga Bernama Kebutuhan

Apakah hanya kesenangan dan ketakutan yang menjadi motivasi dasar manusia? Ternyata terdapat motivasi ketiga bernama kebutuhan. Kebutuhan adalah sesuatu yang harus dipenuhi oleh manusia secara hakiki. Jika ia memenuhi kebutuhannya, maka ia akan bahagia. Kebahagiaan adalah menginginkan apa yang didapatkan. Hal ini begitu sederhana, tapi sering kita abaikan. Misalnya bersyukur. Manusia membutuhkan makanan, tetapi jenis makanan apa sudah menjadi koridor keinginan. Alat epistemologi yang digunakan adalah akal murni. Seseorang yang menjadikan politik sebagai suatu kebutuhan, maka ia akan menegakkan keadilan dengan menghentikan penindasan.

Ideologi sebagai Suatu Kebutuhan

Manusia yang memilih ideologi dengan kecenderungan subyektif seperti perasaan, maka ideologinya juga subyektif dan hanya sebatas keingingan belaka. Manusia yang tidak memilih ideologi, akan tersesat. Hal itu dikarenakan ideologi merupakan seperangkat sistem pengetahuan tentang alam semesta ini yang terdiri atas; darimana kita berasal (Prinsip dasar), mau kemana kita menuju (tujuan) dan bagaimana cara sampai pada tujuan tersebut (kaidah dan pedoman).

Itulah mengapa dikatakan seseorang yang takut atau tidak memilih ideologi pasti akan tersesat. Sementara seseorang yang memilih tetapi menggunakan hawa nafsu yang subyektif, ia akan menjadi penindas dan berlaku dzalim. Maka, kita harus memilih ideologi dengan akal murni. Melepaskan segala kecenderungan agama, suku, ras, subyektivitas, sembari menggunakan prinsip akal yang universal, rasional, mutlak, dalam memilih ideologi yang benar tersebut. Inilah yang disebut memilih ideologi sesuai dengan kebutuhan akal. Dan jika anda menemukan dan mengamalkannya, maka anda akan mendapati kebahagiaan yang hakiki.

Tauhid

Tauhid adalah suatu landasan keyakinan yang meniscayakan keesaan Tuhan.  Dikatakan landasan karena dengan Tauhid-lah segala amalan-amalan menjadi lebih bermakna. Ego yang paling universal adalah ego Tauhid. Sementara yang paling partikulir adalah ego diri, kemudian ego manusia, kemudian ego spesies, kemudian ego makhluk, hingga berujung pada ego yang paling universal, yakni Ego Tauhid.

Alam semesta ini tidak berawal, berujung, dan berpusat pada kemenduaan, atau dualisme, apalagi pluralitas atau kejamakan. Sebaliknya, alam semesta ini justru berawal, berujung, dan berpusat pada suatu Eksistensi Tunggal (Tauhid), yaitu Tuhan yang Maha Esa. Dalam buku Manusia dan Alam Semesta, karya Ayatullah Murtadha Muthahhari, dipaparkan mengenai tingkatan-tingkatan Tauhid, di antaranya;

Tauhid Dzat

            Tauhid Dzat adalah keyakinan akan keesaan Dzat Tuhan. Bahwa Dzat Tuhan tidak tersusun. Karena sesuatu yang tersusun memiliki penyusun dan susunan. Adanya penyusun dan susunan mengindaksikan ketidaktunggalan Dzat Tuhan. Dzat Tuhan tercipta dari diri-Nya sendiri. Karena jika tidak demikian, maka Tuhan memiliki pencipta. Jika Tuhan tersusun dan tercipta, berarti Tuhan terbatas. Jika Tuhan terbatas, maka Tuhan tidak sempurna. Dapatkah kita menuhankan Tuhan yang tidak sempurna? Maka, Dzat Tuhan haruslah tidak tersusun dan tidak tercipta. Dzat Tuhan itu tunggal, tidak tersusun dari sesuatu selain dirinya. Jadi, Dzat Tuhan itu tunggal.

Tauhid Sifat

            Tauhid Sifat adalah keyakinan akan keesan Sifat Tuhan. Bahwa Sifat-Sifat Tuhan bukanlah sesuatu yang menyusun Tuhan. Bahwa Sifat-Sifat Tuhan bukan sekadar 99 saja. Melainkan tidak terbatas. Seluruh kebaikan merupakan gradasi dari Sifat-Sifat Tuhan. Sifat Dzatiyah Tuhan merupakan sifat yang paling mendasar yang harus ada pada Diri Tuhan, yaitu Maha Kuasa, Maha Abadi, dan Maha Mengetahui. Sementara Sifat Fi’liyah merupakan derivasi dari Sifat Dzatiyah Tuhan dan merupakan Sifat yang bisa dipahami jika dikaitkan dengan eksistensi makhluk sebagai ciptaan Tuhan. Sifat Transenden adalah Sifat Tuhan yang hanya bisa dipahami oleh manusia-manusia suci. Sementara Sifat Imanen adalah Sifat Tuhan yang bisa dipahami oleh siapa saja yang mempelajarinya secara benar. Sifat Jalaliyah adalah Sifat Tuhan yang menunjukkan keperkasaan atau sisi maskulinitas Tuhan, seperti Maha Kuat, Maha Besar, dan sebagainya. Sementara Sifat Jamaliyah adalah Sifat Tuhan yang menunjukkan kelembutan atau sisi femininitas Tuhan, seperti Maha Penyayang, Maha Pengasih, dan sebagainya. Jadi, Tauhid Sifat merupakan keyakinan bahwa antara Sifat Tuhan yang sati dengan Sifat Tuhan yang lain merupakan suatu eksistensi Tunggal yang berhubungan dan tidak saling berlawanan.

Tauhid Perbuatan

            Tauhid Perbuatan adalah keyakinan akan keesan perbuatan Tuhan. Bahwa segala perbuatan yang terjadi pada alam semesta merupakan perbuatan Tuhan. Bahwa tidak ada suatu perbuatan pun yang luput dari kehendak Tuhan. Kepakan sayap burung, gugurnya dedaunan, hingga pembunuhan manusia, merupakan perbuatan-perbuatan yang dapat terjadi karena kehendak (perbuatan) Tuhan. Karena perbuatan makhluk tidak dapat terjadi tanpa adanya dzat makhluk. Sementara dzat makluk tidak dapat eksis tanpa adanya perbuatan (atas berkat ciptaan) Tuhan. Secara kausalitatif, semua perbuatan bergantung pada perbuatan (kehendak). Tuhan. Itu berarti, segala perbuatan adalah perbuatan Tuhan.

Tauhid Ibadah

            Jika Tauhid Dzat, Tauhid Sifat, dan Tauhid Perbuatan digolongkan sebagai Tauhid teoritis, maka Tauhid Ibadah merupakan golongan Tauhid praktis. Tauhid teoritis adalah keyakinan akan keesaan Tuhan dalam realitas internal suatu sistem pengetahuan gerak akali. Sementara Tauhid praktis adalah keyakinan akan keesaan Tuhan dalam realitas eksternal suatu sistem gerak ragawi. Adapun Tauhid Ibadah sendiri adalah wujud praktis dari keyakinan akan keesaan Tuhan, seperti mengesakan Tuhan dalam shalat, haji, zakat, hingga amalan-amalan praktis lainnya.

Tuhan telah mati, kata Nietzche. Ia beranggapan tersebut karena melihat realitas sosialnya pada waktu itu di mana agama tidak lagi mampu menolong yang ditindas. Pemuka agama pada waktu itu justru menjadi penindas lain, disamping kaum feodal dan kapitalis. Agama sebagai institusi penegakan keadilan yang ditawarkan oleh agamawan saat itu menjadi kredo yang usang. Maka Tuhan sebagai sumber agama dinyatakan telah mati karena tak mampu lagi mewujudkan keadilan sosial, tumpuan kaum yang tertindas. Apakah memang Tuhan telah mati? Apakah Keadilan harus ada pada Diri Tuhan? Dan bagaimana relasi keadilan antara hak dan kewajiban Tuhan dengan makhluk.

Keadilan Tuhan

Adil bertumpu pada hak dan kewajiban. Ada berhak mendapatkan sesuatu jika sesuatu itu memang milik anda. Dan untuk mendapatkan hak akan kepemilikan, anda harus melakukan suatu kewajiban. Maka anda berhak memiliki sesuatu selama anda telah memenuhi kewajiban anda. Pertanyaannya sekarang, jika kewajiban Tuhan sebagai Pencipta telah dipenuhi, maka Tuhan berhak atas segala kepemilikan dari apa yang telah Ia ciptakan. Analogi sederhananya, yaitu antara pelukis dan lukisannya. Ketika pelukis telah memenuhi kewajiban yaitu melukis, maka pelukis berhak atas kepemilikan lukisan tersebut. Tidak ada hak lukisan pada pelukis. 

Hak lukisan agar dirawat dan dijual dengan harga yang layak merupakan hak yang nisbi. Karena pelukis yang berpengetahuan benar pasti merawat dan menjual lukisannya dengan harga yang layak. Kedzaliman pelukis terhadap lukisan merupakan kedzaliman pelukis terhadap dirinya sendiri. Dan hanya pelukis yang bodoh yang melakukan hal tersebut. Apalagi dengan Tuhan yang Maha Sempurna. Makhluk tidak memiliki hak pada Tuhan. Kalaupun ada, itu hanya hak yang nisbi. Karena Tuhan yang Maha Mengetahui tentu tahu bahwa berlalu adil melekat pada dirinya dan tidak mungkin Tuhan mendzalimi Dirinya Sendiri dengan mendzalimi makhluk ciptaannya. Itu artinya keadilan merupakan sifat yang mutlak ada pada Tuhan (Tsubutiyyah). Sementara kedzaliman merupakan sifat yang mustahil ada pada Tuhan (Salbiyyah).

Relasi Tuhan dan Keadilan

Menurut Muthahhari, dalam Islam setidaknya terdapat 3 pandangan secara garis besar mengenai apa itu keadilan. Kaum skriptualis menyebutkan bahwa adil adalah apa yang diperintahkan oleh Al-Qur'an dan Hadits. Sementara dzalim adalah apa yang dilarang oleh Al-Qur'an dan hadits. Pandangan ini mengidentikkan keadilan dengan kaidah dalam teks suci agama. Pandangan ini tentu menolak diskusi filosofis tentang keadilan. Ia hanya melakukan induktifikasi keadilan terhadap teks suci tersebut. Pandangan kedua yaitu kaum Assyariah yang menyatakan bahwa keadilan adalah segala perbuatan Tuhan. Sementara kedzaliman adalah sesuatu yang noneksitensi terhadap Dzat Tuhan. 

Perbuatan Tuhan memasukkan hamba salih ke surga itu adil, memasukkannya ke neraka sekalipun juga adil, karena perbuatan tersebut adalah perbuatan Tuhan yang niscaya adil. Menyamakan segala perbuatan Tuhan dengan keadilan adalah tamsil atau analogi yang merendahkan keadilan Tuhan itu sendiri. Pandangan ketiga, kaum mutakzilah dan Syiah menyatakan bahwa memang Keadilan adalah salah satu sifat Tuhan. Tetapi keduanya tidak identik. Terdapat pula Sifat Tuhan yang lain yaitu Maha Mengasihi, Maha Memaafkan, hingga Maha Merendahkan Makhluknya. Di sisi lain, keadilan juga dapat diterapkan pada sesuatu selain sifat Tuhan, yaitu sifat manusia. Maka, Keadilan dan Tuhan merupakan dua konsep yang dapat bertemu dan dapat pula berpisah, ditinjau dari segi sifat pelaku keadilan tersebut.

Kehidupan Akhirat

Apakah kehidupan akhirat itu? Dari namanya, dapat dispekulasikan bahwa kehidupan akhirat adalah suatu tahap kehidupan akhir segala makhluk. Pertanyaannya kemudian, adakah hari setelah akhirat? Atau akhirat justru kekal selamanya? Yang jelas, setiap ajaran agama memberikan doktrin kepada penganutnya untuk meyakini hari akhirat, disamping keyakinan akan Tuhan dan perintah berbuat baik sebagai Tridharma beragama.

Kematian

Kematian bukan berarti kemusnahan atau kehancuran total kehidupan makhluk, atau manusia pada khususnya. Bukan pula gerak menuju ketiadaan  (noneksistensi). Setidaknya itulah miskonsepsi yang dipahami oleh materialisme dan nihilisme. Kematian hanyalah perpindahan jiwa atau tahap kehidupan manusia. Dari kehidupan dunia ke barzakh  (kiamat sugra), dan dari kehidupan barzakh ke akhirat  (kiamat kubra). Kematian duniawi hanyalah menghancurkan materi atau fisik manusia yang terbatas menuju alam barzakh yang lebih sempurna. Sementara kematian barzakh menghancurkan bentuk-bentuk manusia yang masih terinfiltrasi dengan unsur-unsur materi menuju alam akhirat yang lebih sempurna pula. Di akhirat, unsur materi dan bentuk telah ditinggalkan hingga yang tersisa hanyalah nonmateri atau ruh manusia. Maka, kematian alih-alih dipahami sebagai kemusnahan, namun justru kesempurnaan jiwa manusia itu sendiri, dari alam dunia, barzakh hingga alam akhirat.

Kehidupan Dunia

Kehidupan dunia merupakan tahap kehidupan pertama, yang mana manusia diberikan tanggung jawab syariat. Kehidupan dunia adalah kehidupan yang berkarakter fisik dan material yang berada sebelum kehidupan barzakh dan kehidupan akhirat. Di dunialah amal perbuatan manusia akan diperhitungkan kelak di akhirat. Al Qur'an mengumpamakan kehidupan dunia seperti ladang untuk menanam benih-benih perbuatan yang akan dipanen di kehidupan selanjutnya.

Kehidupan Barzakh

Kehidupan barzakh adalah kehidupan manusia yang berkarakter khayali atau mitzal yang berada setelah kehidupan dunia dan sebelum kehidupan akhirat. Barzakh seringpula disebut alam kubur. Unsur materi di alam barzakh mulai berkurang walaupun belum sepenuhnya. Analogi yang paling sederhana untuk menggambarkan alam barzakh adalah alam mimpi. Barzakh secara etimologi berarti dinding pemisah atau pembatas. Barzakhlah yang kemudian membatasi antara dunia dan akhirat dan antara manusia yang masih memiliki raga dan manusia yang telah meninggalkan raga (dunia). Di alam barzakh akan tercipta suatu makhluk, baik makhluk tersebut berupa teman, maupun diri kita sendiri yang merupakan manifestasi dari amal perbuatan manusia di dunia. Jika amalannya dominan baik, maka makhluk tersebut akan berwujud seperti cahaya. Jika amalannya dominan buruk, maka makhluk tersebut akan berwujud seperti binatang buas lagi culas.

Kehidupan Akhirat

Seperti namanya, kehidupan akhirat merupakan kehidupan manusia yang paling akhir. Kehidupan akhirat adalah tahap kehidupan yang berkarakter non materi murni yang berada setelah kehidupan dunia dan akhirat. Surga dan neraka berada di akhirat. Surga adalah suatu tempat di akhirat yang akan menampung makhluk yang amalnya dominan baik (pahala). Sementara neraka adalah suatu tempat di akhirat yang akan menampung makhluk yang amalnya dominan buruk (dosa). Adapun makhluk yang dimaksud adalah makhluk yang diberikan tanggung jawab syariat, yaitu manusia dan jin. Surga dan neraka termasuk ciptaan. Karakteristik ciptaan pasti memiliki ajal untuk hidup dan mati. Karena surga dan neraka termasuk ciptaan, pastilah surga dan neraka tidak kekal, atau dapat mati dan berakhir. Hanya Tuhan yang Maha Kekal.

Ilmu dan Pengetahuan

Apakah ilmu pengetahuan dan agama merupakan dua konsepsi yang bertentangan? Atau justru jika bertemu, keduanya menciptakan suatu kemajuan bagi peradaban manusia? Ilmu pengetahuan adalah keseluruhan konsepsi manusia tentang apa yang dapat dipahami tentang realitas. Sementara agama adalah konsepsi manusia tentang pedoman hidup di dunia sebagai bekal untuk kehidupan setelahnya (akhirat).

Jika kita memisahkan agama dan ilmu pengetahuan maka akan terjadi kehidupan yang sekular dan materialistis. Ketika agama yang dominan, maka ilmu pengetahuan akan dikungkung, persis seperti yang terjadi di Eropa sekitar abad ke 5-14 masehi (1 millenium) yang kemudian disebut sebagai abad kegelapan. Ketika ilmu pengetahuan yang domonan, maka sakralisasi, ritualitas dan religiusitas akan dikucilkan pada wilayah publik. Apakah agama menuntun manusia ke arah yang berlawana dengan ilmu pengetahuan? Atau malah sebaliknya? Bukankah manusia adalah makhluk hidup yang beragama dan berilmu pengetahuan? Memilih salah satunya, berarti memilih menjadi manusia yang setengah saja.

Semestinya, agama dan ilmu pengetahuan berjalan beriringan dan saling mendukung satu sama lain demi terciptanya kebudayaan dan peradaban puncak. Seperti kata Einsten, agama tanpa ilmu pengetahuan itu pincang dan ilmu pengetahuan tanpa agama itu buta. Dengan ilmu pengetahuan di sampingnya, agama-agama yang menyimpang dapat dianalisis secara ilmiah dan filosofis sampai mendapati langkah solutif.

Di sisi lain, dengan agama di sampingnya, ilmu pengetahuan yang membuat kerusakan lingkungan, melanggar hak asasi manusia dan tidak menghargai sendi-sendi kehidupan beragama, harus diberikan nasehat dan khotbah atasnya agar mengevaluasi tujuan dan dampak yang ditimbulkan oleh proyek ilmu pengetahuan tersebut. Agama memenuhi kebutuhan batin manusia. Sedang ilmu pengetahuan memenuhi kebutuhan lahiriyah manusia. Agama dan ilmu pengetahuan memudahkan kehidupan batin dan lahir manusia.

Koordinasi Ilmu Pengetahuan dan Agama

Dewasa ini, terlihat sangat jelas beberapa ketimpangan dikarenakan  penafian ilmu pengetahuan dan kebimbangan dikarenakan penafian agama dalam kehidupan manusia. Wiil Durant menyatakan bahwa harta (materi) itu membosankan, akal dan kearifan (Filsafat) hanyalah sebuah cahaya redup yang dingin. Hanya dengan cintalah, kelembutan yang tak terlukiskan dapat menghangatkan hati (Will Durant. The Pleasure of Philosophy. 1953; hal 114).

Lebih lanjut, Will Durant yang menyadari kekosongan yang diberikan ilmu pengetahuan tanpa agama, hendaknya diisi oleh sastra, filsafat dan seni. Filsafat kemudian hadir untuk menjembatani agama dan ilmu pengetahuan. Seperti kata  Bertrand Russell bahwa filsafat berada di tengah-tengah teologi dan sains (Bertrand Russel. History of Western Philosophy. 1946: hal xiii)

Koordinasi agama dan ilmu pengetahuan kemudian dijabarkan secara rinci oleh George Sarton, bahwa seni mengungkapkan keindahan. Agama berarti kasih sayang. Ilmu pengetahuan berarti kebenaran dan akal. Kita membutuhkan ketiganya, seni, ilmu pengetahuan dan akal (Geoge Sarton. Six Wings: Men of Science in The Renaissance. 1958; hal 218).

Singkatnya, agama adalah pedoman untuk sampai pada tujuan. Sementara ilmu pengetahuan adalah alat untuk sampai pada tujuan tersebut. Memiliki pedoman tanpa alat tentu mempersulit perjalanan. Memiliki alat tanpa pedoman justru dapat menyesatkan atau hanya membawa anda sampai pada tujuan sementara yang fana. Miliki pedoman dan alat, maka anda akan selamat sampai tujuan.

Labels: