Dunia bisnis benar-benar telah
mengalami disrupsi, suatu perubahan radikal yang mengganti model bisnis lama
kepada suatu model bisnis yang begitu baru. Lawan-lawan bisnis menjadi tak
terlihat. Simaklah bagaimana Bluebird harus berhadapan dengan Go-jek yang tak
memilki satu kendaraan pun. Hotel skala besar harus berhadapan dengan Airy yang
tak memilki satu kamar hotel pun. Maskapai penerbangan harus berhadapan dengan
Traveloka yang tak punya satu kursi pesawat pun. Ritel-ritel ternama tutup
karena harus berhadapan dengan Lazada yang tak memiliki satu gerai toko pun.
Bisnis baru tersebut bukan saja
membentuk produk baru, atau tawaran jasa baru, tetapi suatu pasar baru.
Lihatlah bagaimana Go-jek yang dulunya hanya menyediakan jasa transportasi
motor sekarang berkembang menjadi pasar yang menawarkan berbagai kemudahan
akses barang dan jasa, mulai dari refleksi, antar makanan, pindahan rumah,
kebersihan rumah, layanan kesehatan, kebersihan, hingga otomotif. Begitupun
dengan Lazada, yang berkembang dari toko jualan online menjadi suatu pasar
online yang menghubungkan pembeli dan pedagang dengan skala masif, 24 jam,
setiap hari, dan seluruh Indonesia, bahkan mancanegara.
Berdasarkan data Tech Crunch,
pada juni 2016, melaporkan bahwa nilai
valuasi tertinggi dicatat oleh Grab (20 triliun rupiah), dan Go-jek (17 triliun
rupiah). Sementara untuk bisnis konvensional nilai valuasi Garuda Indonesia
hanya (12,3 triliun rupiah) dan Blue Bird (9.8 triliun rupiah). Pilihannya
adalah apakah tetap hidup dalam owning
economy dengan risiko digerus oleh pasar distruptif global, atau melegalkan
sharing economy dan mendorong pelaku
usaha menyesuaikan diri.
Model
Bisnis Abad 21; Ekonomi Gotong Royong
Mark Zuckerberg, pendiri
Facebook, berpesan bahwa sukses tergantung pada kemampuan menyelaraskan antara,
iterasi, inovasi, dan disrupsi. Iterasi adalah membuat hal yang sama lebih
baik. Inovasi adalah membuat hal-hal baik dengan lebih baru. Disrupsi adalah membuat banyak hal baik dan baru, sehingga yang lama menjadi ketinggalan zaman, kuno, dan tak terpakai.
Disrupsi tidak hanya menyerang
bisnis transportasi, perhotelan, dan ritel. Ia juga mendisrupsi bisnis
telekomunikasi, televisi, musik, finansial teknologi, bahkan hingga lembaga
investasi dan donor. Karakteristik model bisnis abad 21 yang disruptif antara
lain; pertama, ekonomi gotong royong
atau berbagi. Go-Jek berbagi keuntungan dengan jaringan pengendaranya, walupun
tidak memiliki satu kendaraanpun. Begitupun dengan Traveloka yang tanpa hotel,
atau Lazada yang tanpa toko. Mereka berbagi dengan komunitas bisnis lainnya.
Kedua,
bisnis
disruptif menyasar pasar kalangan menengah ke bawah (low end) pasar yang tidak menjadi fokus oleh bisnis konvensional. Ketiga, karena target pasarnya kalangan
menengah ke bawah dan pemanfaatan teknologi, harga yang ditawarkan oleh bisnis
model baru relatif murah, bahkan beberapa usaha menggratiskannya. Keuntungan
yang diperoleh oleh bisnis ini adalah akumulasi data dari para pelanggan dan
jaringan dagangnya.
Teori
Disrupsi
Teori mengenai Disruptive Innovation dipublikasikan pertama kali oleh Clayton M. Christensen pada 1997. Teori ini disebut-sebut sebagai teori
yang meramalkan berakhirnya kapitalisme yang bertumpu pada akumulasi modal
pemilik bisnis, di mana akumulasi modal itu diperoleh dari kerja keras buruh
pabrik yang digaji tidak lebih mahal dari harga sepatu yang ia produksi di
pabrik tempat ia bekerja.
Peter H Diamandis (2015)
mengemukan tentang 6 tahap tatanan masyarakat abad 21. Yang pertama adalah digitize, suatu upaya mendigitalisasi
segala tatanan kehidupan, termasuk tatanan bisnis. Kemudian deceptive, yaitu fase di mana terjadi
penyangkalan di mana-mana terhadap tatanan kehidupan yang baru ini. Misalnya
demonstrasi taksi konvensional terhadap taksi online. Sangkalan demi sangkalan
akan mengantarkan kita pada tahap yang ketiga, distruptive. Teknologi mempermudah inovasi dari cara yang baru
sembari mengganti yang lama. Turbelensi pun memuncak, hingga terjadilah tiga
tahap selanjutnya.
Demonitisasi, di mana
uang dianggap hanya ilusi dari ekonomi memiliki. Chris Anderson (2010)
menyebutnya sebagai Society of Free, kita adalah masyarakat yang senang memperoleh sesuatu secara gratis. Dan bisnis gratis itu justru menjadi bisnis yang paling
menguntungkan, misalnya Google, Facebook, Instagram, atau Whats Up. Kemudian
terjadilah dematerialisasi, semua
barang dan jasa yang serba fisik berganti menjadi pola yang terkoneksi secara
digital. Hingga sampailah pada tahap demokratisasi, keadaan di mana semua
rakyat bebas mendapatkan sesuatu secara mudah dan murah. Inilah saat, yang oleh
Soekarno, sebut sebagai fase terciptanya demokrasi sosial yang berdiri di atas
demokrasi ekonomi dan politik.
Disrupting
or Disrupted?
Perekonomian abad 21 adalah
ekonomi gotong royong atau kolaborasi, seperti yang telah dicontohkan di atas. Bisnis
konvensional yang terdisrupsi oleh pasar dikarenakan pengambilan keputusan yang
sangat lambat, sudah nyaman dengan model bisnis yang sudah ada, khawatir
bisnisnya terkanibalisasi inovasi yang dibuat sendiri, margin yang lebih rendah
saat transisi, dan sumber daya manusia yang minim inovasi.
Sementara yang berhasil bertahan
dikarenakan merekrut bakat digital, meniru produk yang sudah ada, mengakuisisi
untuk berkompetisi, dan cenderung melakukan pendekatan regulasi, meski hanya
memperlambat laju pertumbuhan bisnis disruptif. Singkatnya, beberapa bisnis
konvensional lebih memilih dihancurkan oleh pendatang baru ketimbang
menghancurkan diri sendiri. Disrupted or
being disruptive.
Distruptive
Mindset
Disruptive mindset sangat erat
kaitannya dengan corporate mindset yang sangat cepat perubahannya, berbeda
dengan birokrat mindset yang cenderung pro
status quo. Beberapa karakteristik corporate mindset dengan kecepatan eksponensial
antara lain; respon cepat, real time,
follow-up, mencari jalan, menganalisis informasi dan kebenaran,
penyelesaian paralel, dukungan teknologi informasi, 24/7, dan connected.
Ada beberapa birokrat yang
bermindset korporat, misalnya Ridwan Kamil di Bandung. Dan ada pula korporat
yang bermindset birokrat, inilah yang menjadi korban bisnis yang terdisrupsi
pasar. Sekarang, telah banyak kota
menerapkan smart goverment yang
bertajuk smart city. Hal ini menggema
mulai di berbagai pimpinan negara-negara dunia, hingga ke pelosok desa. Disruptive bereaucracy akan menciptakan disruptive society.
Pelbagai
Implikasi dari Disrupsi
Bukan hanya pada tatanan bisnis,
disrupsi merembes ke mana-mana. Mulai dari pangan, pemerintahan, olahraga,
hingga pendidikan. Menurut Dobbs, Manyika, dan Woetzel (2015), kita tengah
berada dalam “no ordinary disruption”.
Hal itu disebabkan oleh enam hal, diantaranya; Pertama, perkembangan teknologi yang semakin cepat. Bukan hanya
mempermudah, tetapi juga mempermurah proses pemenuhan kebutuhan, bahkan
peribadatan manusia. Kehadiran robot beserta mesin canggih bukan hanya
mengganti pekerjaan fisik manusia yang berbahaya, seperti penjinak bom dan
pemadam kebakaran. Namun, umat manusia juga bersiap kehilangan beberapa
pekerjaan yang akan diambil alih oleh kecerdasan artifisial tersebut.
Kedua, kekuatan
uang yang menjadi ilusi. Sekarang lembaga donor telah terdisrupsi menjadi
kickstarter.com di Barat, atau kitabisa.com di Indonesia. Transaksi ekonomi
juga telah bergeser dari uang fisik kepada uang digital. Ketiga, Asia dalam gempuran urbanisasi. Berpindahnya penduduk desa
ke kota di satu sisi menjadi salah satu faktor disrupsi tatanan kehidupan.
Namun di sisi lain yang harus diperhatikan adalah desa yang semakin tertinggal
karena ditinggalkan usia produktifnya.
Keempat, pemanfaatn
bonus demografi dan angka harapan hidup yang panjang para pemuda, yang membuat
angkatan kerja relatif lebih terserap daripada satu abad yang lalu. Kelima, globalisasi juga turut berperan
dalam merubah tatatan dunia dalam abad ini. Keterhubungan antara satu daerah
dengan daerah lain dalam waktu yang real time secara global semakin menstimulus
terjadinya disrupsi tatanan kehidupan. Keenam,
dunia telah dikendalikan oleh pemimpin-pemimpin baru yang lebih berpola pikir
disruptif.
Akhirnya, satu-satunya hal kita
tahu tentang masa depan adalah kita pasti berubah, kata Peter Drucker. Tren
lama akan berganti menjadi suatu tren baru.
Perusahan-perusahaan besar akan hilang. Tatanan masyarakat akan lebih
cepat, serba tiba-tiba, sehingga membuat kita terkejut oleh perubahan-perubahan
yang benar-benar baru. Semuanya berubah, model bisnis baru akan berubah,
masyarakat berubah, hukum juga harus berubah. Jangan sampai hukum
tertatih-tatih menguti perkembangan zaman, seperti kata Satjipto Rarardjo. Yang
jelas, segala yang diciptakan akan berubah menuju kesempurnaan. Hanya Tuhan
yang Sempurna yang tidak berubah. Dan hanya menuju Tuhan-lah segala tujuan
penyempurnaan perubahan kita sebagai makhluk.