Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana



Buku setebal 94 halaman ini, ditulis oleh Eddy O.S Hiariej, seorang akademisi hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada. Meski menuai pelbagai kontrovensi, baik dalam internal akademisi FH-UGM, maupun dari kalangan luas, akhirnya buku ini terbit sebagai salah satu khazanah ilmu hukum, khususnya hukum pidana di Indonesia. Menuai kontrovensi dikarenakan buku ini mencoba mengupas sesuatu yang tabu dalam hukum pidana, yaitu mengenai penemuan hukum, khususnya penerapan analogi dalam putusan hakim.
Sejarah Asas Legalitas
Asas legalitas diciptakan oleh Paul Johan Anslem von Feurbach (1775-1833), seorang sarjana hukum pidana Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen recht pada tahun 1801. Feurbach kemudian mengeluarkan adagium yang berbunyi; nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali.[1]
Namun menurut Sahetapy, bukan Feurbach yang pertama kali menciptakan asas legalitas, melainkan Talmudic Jurisprudence.[2] Talmud yang berarti studi, adalah kompilasi naskah-naskah keagamaan, ajaran-ajaran hukum, naskah-naskah sejarah, dan ilmu pengetahuan lainnya yang dikodifikasi Romawi dan diakui secara umum oleh umat Yahudi.
Dalam kitab agama-agama, juga telah diatur mengenai asas legalitas. Dalam Injil, tepatnya Surat Paulus kepada Jemaat di Roma, Pasal 5 ayat (13) berbunyi; “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat.”
Begitupun dalam Al-Qur’an, yaitu pada Surat Al Israa’ ayat (15); “Siapa yang mengikuti petunjuk, maka perbuatan itu adalah untuk dirinya sendiri. Siapa yang berbuat salah, dirinya sendirilah yang akan menderita. Seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menghukum sebelum Kami mengutus seorang Rasul.” Lebih lanjut dalam Surat An-Nisa ayat (165) Allah Swt. berfirman; “(Mereka Kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar tidak alas an bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-Rasul itu.”
Sementara dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashah ayat (59) difirmankan; “Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibu kota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka.” Hal ini, menurut Irmanputra Sidin dalam disertasinya,  bahwa asas legalitas dalam Al-Qur’an merupakan bukti bahwa Allah Swt. tidak akan menghukum hambanya , kecuali apabila telah sampai risalah kepadanya melalui para Rasul-Nya yang memberikan peringatan tentang adanya siksa apabila peraturannya tidak ditaati dan akan mendatangkan nikmat apabila atirannya dipatuhi.[3]
Definisi Asas Legalitas
Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tiada perbuatan yang dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut Undang-Undang yang sudah ada terlebih dahulu.[4] Perbuatan yang dapat dipidana terbagi lagi ke dalam perbuatan yang bersifat positif, yang diartikan sebagai “melakukan sesuatu”. Sedangkan perbuatan yang bersifat negatif, diartikan sebagai “tidak melakukan sesuatu.”[5]
Tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan dan melakukan sesuatu yang dilarang adalah suatu perbuatan pidana. Sementara menurut Moeljatno, bahwa ketentuan pidana menurut Undang-Undang, jika merujuk pada Pasal 1 KUHP, berarti aturan pidana dalam perundang-undangan.[6] Dapat disimpulan bahwa asas legalitas adalah peraturan hukum konkret yang pengertiannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masing-masing negara sebagai definisi baku dari asas legalitas itu sendiri.[7]
Bukan hanya dalam kodifikasi hukum pidana masing-masing negara, asas legalitas juga termaktub dalam rancangan undang-undang (misalnya RUU KUHP di Indonesia), maupun pada perjanjian internasional. Dalam lingkup internasional, asas legalitas diakomodir dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 1948, dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik 1966, Konvensi Eropa mengenai Hak-Hak Asasi dan Kebebasan-Kebebasan Mendasar 1950, Statuta Roma, dan perjanjian internasional lainnya.[8]
Penutup
Bahwa lahirnya suatu asas, termasuk asas legalitas, tidak dapat dipisahkan dengan ruang dan waktu. Faktor sosio-historis harus selalu dipertimbangkan. Saat asas legalitas lahir,. Hukum pidana klasik berusaha melindungi kepentingan dan hak individu dari perilaku despotik penguasa. Berbeda misalnya dengan tujuan hukum pidana modern, yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan.[9] Oleh karena itu, kendati dalam hukum pidana, asas legalitas membatasi penafsiran dan analogi sebagai cara menemukan hukum, dalam penerapannya peradilan pidana acap kali menggunakan interpertasi ekstensif, maupun analogi.[10]
Penemuan hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh hakim (dalam tugasnya), juga oleh orang-orang yang bekerja di bidang hukum, seperti dosen, jaksa, pengacara, dan orang-orang yang bekerja di biro hukum, dalam memecahkan masalah hukum. Penemuan hukum merupakan suatu argumentasi deduktif, dari aturan hukum konkret sebagai premis mayor, peristiwa hukum sebagai premis minor, dan penemuan hukum itu sendiri yang berupa putusan hakim sebagai suatu konklusi.
Jika bertumpu pada prinsip-prinsip penafsiran hukum pidana, empat dari tujuh prinsip, yaitu prinsip proporsionalitas, prinsip relevansi, prinsip kepatutan, dan prinsip materiil lebih mengarah pada aturan-aturan yang tidak tertulis dan senantiasa berkembang dalam masyarakat.[11] Bahkan jika kita merujuk pada beberapa yurisprudensi, terdapat putusan hakim yang melakukan penemuan hukum dengan metode interpretasi ekstensif, yang tidak memiliki perbedaan prinsipil dengan analogi.[12]








[1] Jan Remmelink. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2003, hal. 605.
[2] J.E. Sahetapy. Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana. Disertasi, hal. 244.
[3] Irmanputra Sidin. Studi Hukum Konstitusi terhadap Prinsip Hak untuk Tidak Dituntut atas Hukum yang Berlaku Surut Menurut Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 (Disertasi). 2007, hal. 219.
[4] Eddy O.S Hiariej. Pemikiran Rammelink mengenai Asas Legalitas. Jentera Jurnal Hukum, Edisi 16 – tahun IV, April –Juni 2007, halaman 124.
[5] T.J. Noyon & G.E. Langemeijer, 1947, Het Wetbook Van Strafrecht. Vijfde Druk, Eerste Deel Inleiding Boek I, S. Gouda Quint – D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe – Arnhem, hal. 54.
[6] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta, Jakarta. 2000, hal. 26.
[7] Eddy O.S Hiariej. Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Penerbit  Erlangga, Jakarta. 2009, hal. 24.
[8] Eddy O.S Hiariej, ibid, hal 54.
[9] Ibid, hal. 83.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hal. 84.
[12] Ibid.