John Locke
mendefinisikan kekuasan politik sebagai hak untuk menciptakan aturan
hukum. Kekuasan yang meliputi hak untuk mengatur dan menghukum siapa
saja yang melanggar aturan tersebut. Di sisi lain, kekuasan politik
sering dikaitkan dengan kekuasaan oleh segelintir kaum elit yang sukses
secara finansial. Apa pula hubungan antara kekuasaan politik dan
kesuksesan ekonomi? Di beberapa Negara, seseorang harus kaya terlebih
dahulu, baru dapat berkuasa secara politik. Di Negara lainnya, dengan
berkuasa secara politik, barulah seseorang dapat sukses secara ekonomi
(kaya). Bagi kelompok yang golput atau bagi kelompok yang terlanjur
apatis terhadap kehidupan politik dalam suatu Negara tentu bahasan kali
ini tidaklah menarik. Tapi segolput atau seapatis apapun Anda terhadap
kehidupan politik dalam suatu Negara, bayangkanlah jika kita hidup tanpa
politik dan tanpa Negara. Seperti kata pepatah; kita baru menghargai
keberadaan sesuatu, jika kita kehilangan sesuatu tersebut.
Keadaan Alamiah; Kehidupan tanpa Negara
Berikut ini adalah pandangan beberapa tokoh jika kita hidup tanpa politik dan tanpa Negara;
1. Thomas Hobbes
Bisakah kita
hidup tanpa Negara? Thomes Hobbes berpendapat bahwa akan terjadi
peperangan antara sesama jika manusia hidup tanpa Negara. Leviathan,
istilah yang sering digunakan oleh Hobbes menunjuk sifat dasar manusia
yang selalu ingin berkuasa atas manusia lainnya. Hal ini diperkuat
dengan Teori Kekekalan gerak yang menyatakan bahwa setiap benda terus
bergerak sampai ada benda lain yang menghentikannya. Kenyataan bahwa
setiap manusia ingin terus bergerak maju memaksa manusia yang satu untuk
bergerak lebih cepat dan tepat dari manusia yang lainnya. Tanpa
kehadiran Negara, akan terjadi peperangan antara manusia-manusia
tersebut untuk mencapai tujuannya. Apalagi jika tujuan mereka sama.
Tujuan setiap manusia adalah meraih kebahagiaan. Kekuasaan politik
adalah alat yang digunakan untuk sampai pada tujuan tersebut.
Jangankan dalam
keadaan alamiah , dengan hadirnya Negara pun kita masih menaruh
kecurigaan tinggi terhadap sesama. Kita mengunci pintu rumah karena
khawatir tetangga atau orang lain merampok isi rumah. Kita bahkan
mengunci pintu kamar dan laci karena khawatir anggota keluarga kita
mengambil atau mengakses barang-barang kita. Moralitas saja tak cukup
menjamin sisi buruk manusia. Moralitas yang paling obyektif sekalipun
dapat disubyektivikasi oleh sebagian manusia demi melanggengkan
keinginannya untuk mencapai tujuan. Terlepas tujuan tersebut untuk
mendapat keuntungan atau sekadar mekanisme mempertahankan diri dari
serangan manusia lainnya. Maka, Negara dibutuhkan karena berfungsi untuk
menjamin tidak terjadinya gesekan, benturan atau peperangan antara
sesama manusia dalam mencapai tujuan-tujuannya.
2. John Locke
Berbeda dengan Hobbes, Locke beranggapan bahwa manusia dapat saja hidup
tanpa Negara selama manusia mengutamakan hukum alamiah atau moralitas
yang telah diberikan Tuhan. Pandangan ini jelas-jelas dibantah oleh
Hobbes yang meyakini bahwa moralitas tidak dapat dijadikan landasan
utama dalam menghukum seseorang yang melanggar. Locke kemudian
menyatakan bahwa untuk menghukum pelanggar dalam keadaan alamiah tanpa
adanya Negara setiap manusia diberikan hak alamiah untuk menghukum si
pelanggar. Pertanyaannya kemudian, jika setiap manusia diciptakan setara
oleh Tuhan dan masing-masing memiliki hak alamiah, siapa yang bertugas
untuk menghukum si pelanggar? Bagaimana jika si pelanggar lebih kuat
daripada korban?
Disini,
terlihat jelas kemenangan teori Leviathan Hobbes yang menganggap bahwa
siapa yang lebih tinggi kekuasaannya atas manusia lain, dialah yang
memegang otoritas. Celah lain dari pandangan Locke adalah tentang
penafsiran keadilan bagi yang manusia yang satu tentu berbeda dengan
manusia yang lain. Bisa saja pelanggar merasa dihukum secara berlebih
atau tidak adil oleh korban yang menggunakan hak alamiahnya tersebut.
Locke sendiri menyadari arti pentingnya hak eksekusi baik itu
perseorangan (pemimpin) maupun kolektif (Negara) dalam menghukum si
pelanggar tadi. Jadi, menurut Locke, kehadiran Negara diperlukan untuk
melindungi subyektivitas berlebih manusia yang satu atas manusia yang
lain.
3. Anarkisme
Anarkisme bukan
berarti ricuh, rusuh atau kudeta atas organ pemerintahan. Itu adalah
miskonsepsi yang sejak dulu diinsepsikan oleh kaum individualis terhadap
kaum sosialis. Maka kita terlanjur memandang buruk terhadap anarkisme.
Anarkisme adalah sebuah paham yang beranggapan bahwa manusia tidak
memerlukan pemerintahan atau Negara. Alasannya adalah setiap manusia itu
mempunyai kuasa yang sama atas manusia yang lainnya. Justifikasi atas
beberapa manusia dalam hal ini Negara untuk menguasai manusia lainnya
adalah pelanggaran terhadap kebebasan manusia.
Anarkisme
percaya bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Jika semua manusia itu
baik, otomatis tidak ada manusia yang jahat. Tidak ada manusia yang
dibolehkan untuk menguasai manusia lainnya. Hakikat manusia yang
membutuhkan kehidupan sosial sudah cukup untuk mengakomodir
kebutuhan-kebutuhan sosial manusia. Bahkan manusia yang paling
egois-individualis sekalipun membutuhkan kerjasama sosial. Gerakan
sosial tersebut tidak mesti diserahkan pada beberapa individu yang
mengatasnamakan dirinya sebagai Negara. Maka menurut anarkisme, keadaan
alamiah tanpa Negara adalah akar sejarah dan masa depan ideal bagi
manusia. Negara tidak diperlukan kehadirannya karena mencoreng hakikat
dasar manusia; setara dan bekerja sama secara sosial. Hanya saja pada
kenyataannya, di Negara yang paling mengaku sosialis seperti Rusia dan
China sekalipun masih membutuhkan kehadiran Negara untuk mengurus
kepentingan-kepentingan individu warga negaranya. DIbutuhkan khayalan
tingkat tinggi untuk membenarkan utopia kehidupan manusia tanpa Negara
ala kaum anarkis ini.
Surat untuk Kaum Golput dan Apatis
Setuju tidak
setuju, Negara dan politik adalah kebutuhan kemanusiaan. Walau tidak
memilih adalah sebuah pilihan juga. Tapi bagaimana jika suara Anda yang
hanya 1 itu menentukan nasib rakyat 5 tahun ke depan? Bayangkan jika
caleg yang menang satu suara tadi adalah caleg yang menyiakan aspirasi
rakyat dan memilih untuk pro asing dan kaum elit sembari bersifat
koruptif atas aset Negara. Dan parahnya, hal itu ia lakukan selama 5
tahun, atau setara dengan hamper 2000 hari. Selama hampir 2000 hari ia
melakukan tindakan koruptif. Banyak caleg yang tertangkap korupsi, belum
termasuk mereka yang korupsi tapi tidak tertangkap. Apalgi 90% caleg
DPR RI kembali mencalonkan dirinya.
Katanya, di
Negara yang paling demokratis seperti Amerika sekalipun saja angka
golputnya lebih tinggi dari mereka yang menyalurkan hak pilihnya.
Memang, tapi golputnya warga Amerika dikarenakan ia percaya semua
calegnya berkualitas. Siapa saja yang terpilih, akan sama saja. Berbeda
dengan di Indonesia, karena hanya sedikit caleg kita yang berkualitas
(berpendidikan, mempunyai integritas, dan beretika politik), maka kita
harus turun tangan untuk menyuarakan dan memilih caleg yang sedikit itu.
Agar caleg yang sedikit itu dapat menang atas caleg yang kurang
berkualitas. Jika menang, semoga suara politik kita terlegislasi dan
terwakili.
Caleg yang
berpendidikan adalah yang paham tentang pendidikan politik meskipun ia
bukan sarjana politik. Caleg yang memiliki integritas adalah caleg yang
satu antara perkataan dan perbuataannya. Ia melakukan apa yang ia
katakan dan mengatakan apa yang ia lakukan. Sementara caleg yang
beretika politik adalah caleg lebih mengedepankan kepentingan masyarakat
di atas kepentingan diri dan kerabat keluarganya. Caleg yang sudah
selesai dengan dirinya. Itulah mengapa mereka dikatakan wakil rakyat. Ia
mewakili rakyat, bukan dirinya atau kerabat keluarganya. Kalau anda
menemukan tipikal caleg seperti ini, anda dikenakan dosa sosial jika
tidak memilihnya dalam pemilihan umum.