Menguak Tabir Hukum

Hasil gambar untuk menguak tabir hukum
Sebelum membahas definisi hukum, terlebih dahulu harus dibahas tentang perbedaan definisi dan pengertian. Tidak jarang dari kita yang sulit membedakannya, atau bahkan menyamakannya. Definisi bertugas membedakan, membatasi dan memperjelas antara term yang satu dengan yang lain. Kelak, definisi akan membedakan, membatasi dan memperjelas antara apa yang dimaksud dengan "definisi" dan apa yang dimaksud dengan "pengertian". Definisi dari definisi adalah suatu preposisi yang membedakan, membatasi dan memperjelas suatu term dengan selainnya. Sementara definisi pengertian adalah upaya akal dalam menangkap realitas.

Pengertian Hukum

Setelah membedakan, membatasi dan menjelaskan makna antara definisi dan pengertian, barulah dapat dibahas mengenai pengertian hukum dan definisi hukum. Pengertian  hukum adalah upaya akal dalam menangkap realitas hukum. Pengertian hukum hanya boleh dimaknai dalam konteks hukum pula, bukan dalam konteks pengertian sehari-hari. Pengertian hukum mempunyai isi dan batas-batas yang jelas serta dirumuskan secara pasti. Pengertian hukum merupakan suatu kategori tertentu dalam konteks berpikir secara hukum (Paton. A Text Book of Jurisprudence. 1971; 206).


Bahasa Hukum

Bahasa hukum memiliki pembeda atau karakteristik tersendiri yang tidak mudah dipahami oleh orang awam.  Karakteristik bahasa hukum tersebut yang kemudian tidak jarang membuatnya berlainan arti dengan bahasa pergaulan sehari-hari. Misalnya bahasa hukum “tertangkap tangan”. Dalam bahasa hukum, hal tersebut bukan berarti tangannya ditangkap ketika melakukan tindak pidana, tetapi pelaku ditemukan langsung (terpergok) oleh penegak hukum ketika melakukan tindak pidana. Contoh lain ada pada preposisi; “Budi memukul Amir”. Dalam bahasa pergaulan sehari-hari atau bahkan ilmu bahasa, Budi merupakan subyek, memukul merupakan predikat, dan Amir merupakan obyek. Sementara dalam bahasa hukum, Amir tidak dapat dikatakan sebagai obyek. Hal itu dikarenakan Amir adalah orang yang termasuk subyek hukum dalam ilmu hukum. Lagipula, yang termasuk obyek hukum dalam ilmu hukum harus merupakan barang, benda atau hak (Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat 1982: 13).

Pertanyaannya kemudian, mengapa bahasa hukum memiliki pembeda atau karakteristik tersendiri, jika dibandingkan dengan bahasa pergaulan sehari-hari? Bahasa hukum yang kita pakai sekarang dipengaruhi oleh istilah-istilah yang merupakan terjemahan dari bahasa hukum Belanda. Di mana bahasa hukum tersebut dibuat oleh sarjana hukum yang lebih menguasai tata bahasa Belanda ketimbang tata bahasa Indonesia. Maka jadilah bahasa hukum memiliki kekhususan tersendiri dibanding bahasa Indonesia pada umumnya, terlebih bahasa pergaulan sehari-hari yang telah dipengaruhi oleh kondisi sosiologis pergaulan generasi setempat. Bahasa hukum adalah bahasa yang digunakan dalam komunikasi-komunikasi hukum seperti dalam perundangan-undangan, pengadilan, penyelidikan, penyidikan, traktat dan aturan-aturan normatif serta positivis lainnya. Namun karena bahasa hukum yang digunakan di Indonesia merupakan bagian dari bahasa Indonesia, ia harus tetap mengikuti kaidah-kaidah dalam bahasa Indonesia. (Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, 1984: 3).

Kaidah Pendefinisian

Untuk dapat menyerap pengertian hukum secara mendalam dan menyeluruh, langkah awal yang tepat adalah dengan memahami definisi hukum. Definisi hukum yang ditemukan nantinya akan berguna dalam membatasi, membedakan dan memperjelas pengertian hukum dengan selainnya. Untuk dapat menemukan definisi yang tepat, kita harus memenuhi kaidah pendefinisian. Diantaranya;
  1. Kata-kata yang mendefinisikan (definien) harus lebih jelas ketimbang kata yang didefinisikan (definiendum). Terkadang seseorang mendefinisikan kata dengan menggunakan kata-kata yang tidak lebih jelas ketimbang kata yang ingin didefinisikan. Hal ini tentunya menyalahi fungsi definisi yaitu untuk memperjelas. Contohnya dalam mendefinisikan pengadilan sebagai suatu lembaga yudikatif yang pemilihan pimpinannya dipilih oleh pemimpin lembaga eksekutif dengan persetujuan lembaga legistatif dengan mekanisme yang efisien dan efektif sesuai dengan regulasi yuridis. Metode pendefinisian di atas tentu semakin membutuhkan penjelasan lebih lanjut. Jadi, gunakanlah definien yang lebih jelas ketimbang definiendum.
  2. Defiendum tidak boleh terdapat dalam definien. Misalnya kita mendefinisikan teori hukum sebagai sebuah teori tentang hukum. Atau mendefinisikan perjanjian sebagai suatu janji yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih. Jadi, hindarilah mendefinisikan suatu kata di mana kata yang didefinisikan ikut menjelaskan dirinya sendiri.
  3. Definien tidak boleh bersifat negasi. Kita ambil contoh korban. Korban adalah seseorang yang bukan pelaku. Atau wanita adalah manusia yang bukan pria. Metode pendefinisian seperti ini, merupakan kesalahan berpikir yang berupa cyrcular reasoning. Di mana penjelasannya berputar-putar dan tak memiliki ujung. Jadi, hindarilah mendefinisikan kata secara negasi.
  4. Definien dan definiendum harus dapat bertukar posisi. Misalnya kita ingin mendefinisikan hakim. Hakim adalah penegak hukum yang memutus perkara di pengadilan. Begitupun jika posisinya ditukar. Penegak hukum yang memutus perkara di pengadilan adalah hakim (Bruggink. Refleksi tentang Hukum. 1993; 72).
Definisi Hukum

Pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat hukum seperti definisi hukum, tujuan hukum, sumber hukum dan mengapa kita harus menaati hukum akan terjawab sesuai dengan aliran hukum kita masing-masing. Aliran hukum atau biasa juga disebut Mahzab hukum adalah aliran pemikiran dalam memandang hukum. Jika tidak memakai aturan pendefinisan yang tepat, maka definisi hukum bisa melebar, selebar-lebarnya. Dari ketidaksamaan definisi itu tentu akan berdampak pada ketidaksamaan tujuan. Dikarenakan ketidaksamaan tujuan, tentu berdampak pula pada ketidaksamaan jalan dalam menaati hukum.

Apapun aliran hukumnya atau bagaimanapun cara orang tersebut dalam memandang hukum, semuanya sepakat, bahwa hukum harus didefinisikan. Cara paling sederhana yang Aristoteles ajarkan dalam mendefinisikan sesuatu adalah dengan mencari jenis dan pembedanya. Misalnya kita ingin mendefinisikan kumis. Maka kita harus mencari jenis dari kumis dan pembeda kumis dari selain kumis. Jenis kumis adalah bulu. Sementara yang membedakan kumis dengan bulu-bulu lainnya adalah letaknya. Letak kumis berada diantara mulut dan hidung. Jadi, definisi kumis adalah bulu yang berada diantara mulut dan hidung.

Penjelasan di atas kemudian mengantarkan kita pada pembahasan mengenai definisi hukum. Dalam bukunya, Menguak Tabir Hukum halaman 30-31, Achmad Ali mendefinisikan hukum sebagai seperangkat kaidah yang mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan yang jika melanggarnya akan mendapat sanksi. Sekilas, pandangan ini sudah tepat adanya. Hanya saja, analisis penulis memandang bahwa hukum merupakan kaidah atau norma yang berisikan perintah dan larangan. Preposisi "apa yang boleh" merupakan preposisi yang bersifat perizinan, bukanlah perintah. Preposisi "apa yang harus" merupakan preposisi yang lebih bersifat perintah daripada preposisi "apa yang boleh". Sementara bagi larangan, preposisi "apa yang tidak boleh" sudah bersifat larangan. Maka tidak perlu mengubahnya menjadi preposisi "apa yang tidak harus".

Dari analisis sederhana penulis, dapat disimpulkan bahwa definisi yang lebih tepat tentang hukum adalah seperangkat kaidah yang dibuat oleh penguasa dan kesepakatan masyarakat setempat  yang bersifat mengikat dan memaksa yang berisikan apa yang  harus dan apa yang tidak boleh dilakukan yang jika melanggarnya akan mendapat sanksi. Definisi tersebut sudah sesuai dengan kaidah pendefinisian karena definien lebih jelas dari definiendum, definiendum tidak terdapat dalam definien, definien tidak bersifat negasi, serta definien dan difiniendum dapat bertukar posisi.

Substansi Hukum dalam Pelbagai Aliran Hukum

Semakin spesifik kita mencari pembeda hukum dengan ilmu lainnya, maka semakin jelas dan terbedakan pula definisi hukum Anda dengan definisi selain hukum. Definisi hukum yang masih terlampau luas akan menjadi jurang pemisah bagi beberapa orang untuk menafsirkannya menurut aliran pemikiran mereka masing-masing. Aliran hukum yang paling umum dianut yaitu aliran hukum alam, positivisme, utilarianisme dan realisme. 

Hukum alam bermula sejak zaman keemasan yunani. Sekitar abad ke 5 sebelum masehi. Atau sama dengan 500 tahun sebelum lahirnya Yesus Kristus. Alam yang dimaksud di sini bukanlah rimba atau hutan, gunung dan semacamnya. Alam yang dimaksud adalah alam pikiran atau akal. Aliran ini hendak mengajarkan bahwa hukum terhadap suatu tindakan (pembunuhan) sudah lebih dulu ada ketimbang tindakan (pembunuhan) itu sendiri. Benar tidaknya suatu tindakan sudah lebih dulu ada di alam akal. Menurutnya, susbtansi hukum adalah keadilan. Jadi, hukum yang tidak adil bukanlah hukum secara an sich. Tokoh-tokoh hukum alam antara lain; Socrates, Plato, Aristoteles, Cicero, Thomas Aquinas, Jhon Locke, Kant, Hegel, Gustav Radbruch.

Selanjutnya lahirlah paham positivis. Positivisme adalah aliran hukum yang beranggapan bahwa substansi hukum adalah kedaulatan atau kekuasaan. Di mana kedaulatan Negara membentuk hukum dan semua rakyat harus mematuhi hukum tersebut. Menurutnya; tujuan hukum adalah kepastian. Dan kepastian hanya bisa dapatkan melalui teks (Undang-undang). Seperti kata salah satu tokohnya, Jhon Austin:“ No Law, No Sovereign. No Sovereign, No Law (tak ada hukum, tak ada kekuasaan. Tak ada kekuasaan, tak ada hukum).‘’ Jadi, antara kekuasaan dan hukum termaktub dalam hubungan sama. Auguste Comte dan Herbert Spencer juga penganut aliran positivis. Menurut paham ini, hukum adalah Undang-undang. Selain daripada itu, bukan hukum yang sebenarnya.

Bergeser sedikit pada aliran selanjutnya, hadirlah Utilitarianisme. Dimana paham ini berpendapat bahwa tujuan hukum adalah kemanfaataan. The greatest happiness of the greatest numbers, merupakan asasnya. Kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya orang. Asal-muasal pemikiran utilis datang dari filsuf asal Yunani; Aristippus dan Epiccurus. Utilis dikenal pula dengan sebutan hedonis. Falsafah hidup dari aliran utilis adalah bagaimana “meraih kebahagiaan sebesar-besarnya dan meminimalisir penderitaan sekecil-kecilnya''. Sayangnya, hedonis kini mengalami peyorasi makna. Dianggap sebagai paham yang hanya memikirkan kesenangan belaka. Kaum utilis berpendapat bahwa hukum yang efektif adalah hukum yang bermanfaat. Jhon Stuart Mill dan Jeremy Bentham juga terkenal dengan pemikiran-pemikiran utilitariannya.

Tapi menurut kaum Realis (Realisme), hukum tidak hanya berbicara tentang kepastian undang-undang dan kemanfaatan. Undang-undang yang sifatnya kaku dan terbatas itu tidak dapat mengakomodir progresivitas masyarakat. Apalagi berbicara tentang kemanfaatan, tentu sangat rentan akan pragmatisme dan pemanfaatan hukum oleh beberapa oknum tertentu, tak terkecuali penguasa. Hukum adalah kekuasaan, bukan milik penguasa.  Realisme mengangap bahwa hukum baru dapat dikatakan hukum jika hukum tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat (realistis). Hukum seharusnya dapat mengikuti perkembangan zaman. Ini sangat sejalan dengan konsep living law milik salah satu tokoh realisme; Eugen Erlich. Aliran hukum inilah yang mewakili tiga tujuan hukum yang kita kenal dewasa ini. Kepastian, kemanfaatan dan keadilan. Lalu bagaimana jika dalam suatu kasus tiga tujuan ini tidak dapat tercapai secara bersamaan? Gustav Radbruch menyarakan skala prioritas baku. Utamakan dahulu keadilan, kepastian kemudian kemanfaatan. Dan jika ketiganya digabung, terciptalah ketertiban.


Labels: