Falsafah Akhlak

Hasil gambar untuk falsafah akhlak      Apa itu etika? Bagaimana mengukur etika seseorang? Apakah standarisasi etika bangsa yang satu dan bangsa yang lain sama saja (obyektif dan universal)? Apakah etika suatu generasi berbeda dengan etika generasi sesudahnya? Dan apakah etika hanya dapat diterapkan pada manusia saja? Mari kita membahas etika dimulai dari pandangan beberapa tokoh berikut; 


1. Pandangan Kaum Empiris

      Secara garis besar, kaum empiris terbagi 2; Kaum empiris yang individualis dan kaum empiris yang sosialis. Inilah pandangan 2 tokoh besar kaum empiris-individualis; Charles Darwin mengatakan bahwa seseorang dikatakan beretika jika ia berusaha untuk bertahan hidup. Apakah itu dalam hal memepertahankan keberlangsungan hidup dirinya, kelompoknya atau bangsanya. Lain lagi dengan Teori Berpikir Pribadi-nya Betrand Russell, yang menganggap bahwa seseorang dikatakan beretika, jika ia tidak mengganggu hak orang lain sebagaimana ia tidak ingin haknya diganggu. Slogannya adalah “aku tidak mencuri milikmu, karena aku tidak ingin milikku dicuri. Sepintas, teori ini terlihat benar, tapi tujuan dari teori ini terlalu sempit. Ia menolong karena ingin ditolong. Seperti kebanyakan teori kaum individualis lainnya, sangat empriris.

         Sementara pandangan kaum empiris-sosialis berkata lain. Bahwa etika adalah rasa cinta terhadap sesama. Jadi, seseorang dikatakan beretika baik, jika dia bermanfaat bagi manusia lainnya. Tokoh humanis seperti Erich Fromm tentu sepakat dengan hal ini. Pembagian pandangan mengenai etika dikelompokkan berdasarkan pandangan dunia, bukan berdasarkan agama, apalagi mahzab. Jadi, bisa saja seseorang mengaku beragama, tapi pandangan dunianya justru materi.

2. Pandangan Kaum Sufistik

    Manusia dikatakan beretika ketika ia menjaga hawa nafsu dengan memuliakan selain dirinya dan menghinakan diri sendiri. Kritik dalam pandangan ini hanya pada kecenderungannya yang menghinakan diri sendiri. Dalam Islam, kita memang diwajibkan memuliakan orang lain, tapi kita dilarang untuk menghinakan diri sendiri. Berlakulah seimbang.

3. Pandangan Kaum Rasionalis

     Pandangan kaum rasionalis juga terbagi 2; Kaum rasionalis sekular dan kaum rasionalis Islam. Kaum rasionalis sekular menganggap bahwa etika adalah sesuatu yang hadir dalam intuisi setiap manusia. Pada dasarnya, manusia dibekali perangkat bawaan sedari lahir untuk menentukan mana etika yang baik dan mana yang buruk. Pandangan Immanuel Kant mewakili pandangan kaum rasionalisme sekular.

      Terakhir, pandangan kaum rasionalis Islam. Akal kita dapat menimbang antara sesuatu yang benar, lagi baik, dan sesuatu yang salah, lagi buruk. Sampai disini, kita tidak ada bedanya dengan kaum rasionalis sekular. Perbedaanya pada tujuan atau niat etika tersebut. Etika dalam filsafat Islam haruslah dilandaskan pada tujuan yang mulia dan universal; Tuhan.

Batasan-Batasan Etika

       Beberapa pandangan di atas dapat kita simpulkan untuk membatasi pengertian mengenai etika. Bahwa etika adalah segala perbuatan yang didasarkan pada sesuatu yang lebih universal dan mengenyampingkan ego keakuan yang sifatnya partikulir. Dikarenakan ketiadan free wiil atau kehendak bebas untuk memilih, malaikat dan binatang tidak dapat kita katakan beretika. Maka, yang dapat dikatakan beretika hanyalah hamba Tuhan yang dibebankan kewajiban syariat (mukhallaf).

        Etika dapat kita nalar melalui akal. Itu berarti cakupan etika bersifat universal dan obyektif. Sifatnya konstan pada setiap bangsa di dunia dan pada setiap generasi. Relativitas etika bergantung pada “untuk apa” kita melakukan sesuatu tersebut. Misalnya berbohong demi kebaikan. Berbohong dapat saja dikatakan beretika baik selama peruntukannya jelas demi kebaikan. Kebaikan yang lebih universal tentunya. Bukan kebaikan pribadi (partikulir).

Mengapa Etika Menjadi Relatif?

         Pada dasarnya, setiap manusia memiliki akal. Akal tersebut bertugas menangkap hal-hal yang obyektif, universal dan abstrak. Substansi etika terletak pada daya akal di dalamnya. Maka perbuatan semulia shalatpun akan menjadi tidak mulia jika tidak ada kesadaran (akal) di dalamnya. Apa yang disadari? Bahwa perbuatan tersebut, dalam hal ini shalat adalah untuk “mendekatkan” diri kepada Tuhan. 

      Etika menjadi relatif dan begitu subyektif, jika didasari pada niat pribadi atau lebih tepatnya hawa nafsu. Hawa nafsu (ego keakuan yang partikulir) adalah alasan mengapa etika dipandang relatif dan subyektif. Untuk mengakomodir tendensi atau kepentingan pribadi dan golongannya maka etika disubyektifikasi, direlativikasi dan dipartikulirkan agar nantinya parameter etika yang baik dan benar bergantung pada hawa nafsu (ego keakuan).

Menyucikan Diri; Mengendalikan Hawa Nafsu Melalui Akal 

         Kesimpulannya, bahwa segala perbuatan harus didasari niat demi Tuhan. Karena sudah menjadi hakikat manusia untuk bergerak menuju Kesempurnaan. Olehnya itu, segala perbuatan kita harus dilandaskan pada nilai-nilai Ketuhanan. Menyucikan diri adalah usaha jiwa yang dilakukan dengan tujuan (niat) mengendalikan hawa nafsu melalui kendali akal. Karena sesungguhnya, orang-orang yang menjaga kesucian dirinya maka jiwanya akan tetap hidup dengan mulia menuju kemuliaan sejati. Apakah yang dapat mempersatukan umat Islam bahkan umat manusia? Jawabannya adalah akhlak yang baik.

Labels: