Fundamen
politik atau prinsip dasar berpolitik dari Sila Kemanusiaan hingga Sila
Keadilan Sosial dapat disimpulkan ke dalam suatu etika politik. Etika atau
moral sendiri adalah suatu norma tentang ajaran untuk mengikuti kebaikan
universal di atas partikularitas kepentingan berjangka pendek nan sempit.
Menjadi negarawan adalah perintah etika politik, sementara menjadi politisi
adalah dorongan sebaliknya.
Bapak bangsa kita, Mohammad Hatta, menegaskan bahwa Sila Kemanusiaan hingga Sila Keadilan sosial merupakan fundamen politik dari Pancasila, di mana Pancasila itu sendiri merupakan fundamen atau dasar negara Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Lebih lanjut Hatta kemudian menempatkan Sila Ketuhanan sebagai fundamen moral dari Pancasila (Hatta, 2015).
Yudi
Latif mendefinisikan negarawan sebagai aktor politik yang menempatkan dirinya
demi kepentingan negara, sementara politisi adalah aktor politik yang
menempatkan negaranya demi kepentingan dirinya. Apakah fundamen politik
berbangsa dan bernegara itu? Apa pula fundamen moralnya? Dan bagaimana
menemukan korelasi keduanya dalam realitas sosial keindonesiaan dewasa ini?
Etika
Politik sebagai Fundamen Politik
Etika atau moral politik berbicara bukan
sekadar bagaimana menjadi warga negara yang baik, melainkan bagaimana menjadi
manusia yang baik dalam tanggung jawabnya saat berhadapan dengan entitas sosial
negara-bangsa. Kewajiban dan tanggung jawab itu menjadi penting mengingat peran
manusia sebagai makhluk sosial, zoon
politicon, kata Aristoteles.
Karena etika merupakan ilmu normatif, maka
etika politik berbicara apa yang sebaiknya dan apa yang tidak sebaiknya
dilakukan manusia saat ia berhadapan dengan negara atau realitas politik.
Termasuk bagian dari etika politik pula ketika manusia mempertanyakan
legitimasi suatu negara untuk memerintah dan mengatur hukum beserta sanksinya
yang dapat dipaksakan keberlakuannya kepada masyarakat manusia tersebut.
Adapun bentuk-bentuk legitimasi atau
keabsahan suatu pemerintah dalam bernegara dapat dibagi ke dalam; pertama, legitimasi religius mendasarkan
kewenangan memerintahnya atau otoritasnya pada sesuatu yang Adi-Duniawi. Bahwa
kekuasaannya berasal dari Tuhan, dan pertanggung jawaban kekuasaannya bukan
kepada rakyat dunia, melainkan kepada Tuhan di hari kemudian. Pertanggung
jawaban kekuasaan hanya digantungkan pada kesadaran budi dari penguasa itu
sendiri. Legitimasi religius betul-betul menciderai demokrasitasi dan martabat
kemanusiaan. Itulah mengapa legitimasi ini tidak lagi menjadi pilihan utama dan
pertama dalam menjalankan pemerintahan negara modern. Legitimasi religius
mendapati pijakan teoritisnya dari fatwa-fatwa para pemuka agama. Sebut saja
Agustinus pada imperium Romawi, ataupun Muhammad Abduh pada gerakan Pan
Islamisme modern atau khilafah Islamiyah.
Kedua, legitimasi ideologis mendasarkan
otoritas kekuasannya pada suatu ideologi tertentu. Negara ideologis menghendaki
ketaatan mutlak warga negara kepada negara. Totalitarianisme menjadi acuan, dan
yang tidak taat dicap kontra revolusioner. Pertanggungjawaban kekuasaan hanya
ditujukan kepada keluhuran ideologi, bukan kepada Tuhan, apalagi kepada rakyat.
Legitimasi ideologis berpijak pada pemikiran Hobbes dalam Leviathan, Rosseau
dalam republikanisme-nya, ataupun Marx dalam komunisme-nya.
Ketiga, legitimasi elite mendasarkan
otoritas kekuasaannya pada segelintir orang saja. Segelintir elite tersebut
bisa berupa elite teknoratis, elite bangsawan, maupun elite korporasi. Dalam
elite teknoratis yang memimpin hanyalah kalangan ahli. Pertanyaannya kemudian,
apakah ahli ekonomi, ahli hukum, atau ahli politik berhak memimpin rakyat
secara keseluruhan? Keahlian bukanlah syarat utama, melainkan penerimaan
rakyat, karena yang dipimpin adalah rakyat itu sendiri. Dalam elite bangsawan yang memimpin adalah
golongan darah biru, sementara dalam elite korporasi yang memimpin adalah
segelintir kaum pemodal yang membutuhkan negara demi akumulasi modal bisnisnya.
Dasar pijakan legitimasi elite teknoratis berasal dari Plato, legitimasi elite
bangsawan dari kehendak kaum feodal, dan legitimasi elite korporasi berasal
dari gagasan liberalisme John Locke.
Keempat, Legitimasi demokratis mendasarkan otoritas kekuasaannya pada
kehendak rakyat. Hal ini rasional dan bermoral, karena yang diperintah adalah
rakyat, maka sumber kekuasaan harus dari rakyat dan pertanggung jawaban
kekuasaan tersebut ditujukan kepada dan di hadapan rakyat. Pijakan teori
legitimasi demokratis terutama sekali berasal dari gagasan-gagasan Aristoteles
tentang demokrasi dan tugas negara demi menjamin kebahagiaan rakyat (Magnis
Suseno, 2016).
Ketuhanan yang Maha Esa sebagai Fundamen Moral
Nilai-nilai
ketuhanan seperti kasih sayang, kehidupan, kekuasaan yang adil, hingga
kedermawanan sudah sepatutnya ditiru oleh manusia. Sifat-sifat Tuhan dapat
dipahami manusia melalui kitab suci yang diturunkan Tuhan kepada
manusia-manusia pilihan para Nabi. Nilai-nilai ketuhanan dapat kita peroleh
sumber inspirasinya dalam laku para Nabi dan kitab suci. Dengan begini,
pembangunan masyarakat madani yang diridhoi Tuhan mendapatkan legitimasinya.
Thomas
Aquinas dalam karyanya, Summa Theologica,
mengaitkan keharusan menyerap nilai-nilai ketuhanan dan pembangunan masyarakat
dengan membagi hukum ke dalam 4 bagian. Pertama,
lex aeterna adalah hukum yang bersumber langsung secara primer dari Tuhan
untuk mengatur alam semesta. Kedua, lex
divina adalah hukum yang bersumber dari kitab suci yang merupakan
penjabaran dari lex aeterna. Ketiga, lex
naturalis adalah hukum kodrat yang bersumber secara primer dari akal
manusia untuk menilai dan mengatur alam semesta. Keempat, lex humana adalah hukum yang bersumber dari kitab
perundang-undangan buatan manusia yang merupakan penjabaran dari lex naturalis atau hukum kodrat.
Titik Temu Fundamen Moral dan Fundamen Politik
Etika
politik sebagai fundamen politik menghendaki lembaga legislatif sebagai lembaga
yang legitim untuk memproduksi undang-undang sebagai hukum positif. Etika
tersebut wajar adanya mengingat lembaga legistatif merupakan perwakilan rakyat
yang dipilih melalui pemilihan umum berkala. Di sisi lain, Ketuhanan yang Maha
Esa sebagai fundamen moral menghendaki nilai-nilai ketuhanan yang terinsepsi
dalam hukum kodrat sebagai cita hukum untuk membangun masyarakat yang diridhoi
Tuhan. Hukum positif merupakan produk fundamen politik, sementara hukum kodrat
merupakan produk fundamen moral.
Pertemuan hukum kodrat yang ideal
namun tak tertulis dengan hukum positif yang pasti namun kompromis dapat
dilihat pada dokumen hak asasi manusia. Selain mengandung ide-de kodrati yang
manusiawi, HAM juga telah diratifikasi dalam undang-undang yang diperoleh dari
perjanjian internasional semisal DUHAM 1948 PBB, ke dalam UUD 1945 Pasal 27, 28,
29, hingga ke dalam Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Peradilan HAM.
Namun, yang
perlu buru-buru diklarifir bahwa HAM tidak berdiri sendiri. Sebagai negara
gotong royong, Indonesia juga mendukung implementasi kewajiban dan tanggung jawab
sosial negara yang termaktub dalam UUD 1945 Pasal 34. Selain tugas, kewajiban,
dan tanggung jawab sosial negara di satu pihak, terdapat pula kewajiban asasi
manusia.
Bahwa antara
hak asasi manusia di satu sisi, terdapat pula kewajiban asasi manusia di sisi
lain. Jika mengacu pada definis John Rawls tentang keadilan, yaitu penuntasan
hak dan kewajiban. Maka penuntasan hak asasi manusia dan kewajiban asasi
manusia melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai keadilan asasi manusia.
Bahwa setiap manusia berhak mendapat keadilan, selama ia telah menuntaskan
kewajibannya dalam menegakkan keadilan. Inilah keadilan untuk semua. Dalam
konteks keindonesiaan kita mendasari dalam mengamalkannya dalam sila kelima
Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.