Dasar-Dasar Epistemologi Pendidikan Islam

Hasil gambar untuk dasar-dasar epistemologi pendidikan islam
Apakah perbedaan cerdas dan pintar? Imam A’li pernah berkata; Ilmu itu terbagi dua, ilmu perolehan dan ilmu potensial. Seperti sebutannya, ilmu perolehan adalah ilmu yang diperoleh secara pasif seperti mendengar, menonton, membaca dan lainnya. Sementara ilmu potensial adalah ilmu yang didapatkan secara aktif seperti merenung, berpikir kreatif, meditasi dan sebagainya. Murtadha Muthahhari, seorang filosof besar Islam Iran, dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Pendidikan Epistemologi Islam menyebutkan bahwa akal dan ilmu analogi mesin pabrik dan bahan baku. Secanggih apapun mesinnya kalau bahan baku sedikit maka hasilnya pun sedikit. Tapi sebanyak apapun bahan baku kalau mesin tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka hasilnya tidak optimal. Akal dan mesin menentukan kualitas hasil. Ilmu dan bahan baku menentukan kuantitas hasil. Maka keduanya, sama pentingnya dan sama dibutuhkannya.

Akal berfungsi sebagai penyaring dan pembeda antara informasi yang benar dan informasi yang salah. Karenanya, akal kita harus aktif dalam menganalisis dan mengkritisi informasi-informasi yang akan masuk dan singgah di dalamnya. Itulah mengapa orang-orang yang mengoptimalkan akalnya dapat mengetahui akibat atas sesuatu yang sedang, atau bahkan belum dilakukannya. Maka pantang bagi orang-orang yang berakal untuk mengikuti sesuatu hanya karena sesuatu tersebut banyak yang melakukannya, karena tradisi atau kebiasaan belaka. Karena kebenaran yang hanya dapat dipahami akal tidak berbicara mayoritas, kesepakatan, kebiasaan atau tradisi turun-temurun dari nenek moyang. 


Pantaskah Orang  Cerdas Berlaku Sombong?

Terdapat miskonsepsi umum dalam masyarakat kita, bahwa orang cerdas pantas saja menyombongkan diri karena kapasitas keilmuannya. Pertanyaannya kemudian, apakah parameter kecerdasan manusia? Apakah harus bergelar profesor atau spesialis? Bukankah profesor dan spesialis hanya cerdas pada bidangnya dan awam pada bidang yang lain? Simpulnya, tidak ada manusia yang cerdas di segala bidang ilmu. Tugas kita hanyalah meminimalisir ketidaktahuan terhadap suatu ilmu. Semakin banyak yang kita ketahui tentang suatu ilmu, maka semakin terhindar pula kita terhadap kekeliriuan dan kekonyolan yang tak perlu.

Rasulullah saw. bersabda; “Ilmu itu diukur dengan tiga jengkal. Apabila seseorang telah sampai pada jengkal pertama, maka ia akan membanggakan diri. Bila telah sampai pada jengkal kedua, maka ia akan merasa rendah hati. Bila telah sampai pada jengkal ketiga, maka ia akan menyadari bahwa sebenarnya ia tidak tahu apa-apa.“ Ungkapan ini senada dengan yang dikatakan oleh Socrates bahwa orang yang bijaksana adalah ia yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu apa-apa. Maka orang sombong yang merasa pintar seharusnya pintar merasa bahwa pengetahuannya itu belum seberapa. 

Kualitas dan Kuantitas Ilmu

Sekitar 50 tahun yang lalu, karena kemampuan akalnya, Erich Fromm sudah menduga dalam bukunya Revolusi Harapan bahwa kelak akan datang zaman di mana manusia dituntut untuk memproduksi dan mengomsumsi dalam jumlah yang banyak. Semakin banyak, semakin baik. Kualitas sudah tidak menjadi soal, yang penting kuantitas. Informasi atau ilmupun harus kita filter. Buku memang bermanfaat, tapi tidak semua buku harus Anda baca. Telusuri siapa penulisnya dan tentang apa tulisannya. Seperti atsar Imam Ali; Umur manusia pendek, sedangkan ilmu begitu banyak. Ambillah saripati ilmu dan tinggalkanlah yang tidak (kurang) bermanfaat.

Dalam buku The 8th Habit karya Stephen R. Covey termuat bahwa penyebab penderitaan manusia adalah karena hidup di zaman yang tidak seharusnya. Lebih lanjut, Covey menyatakan bahwa zaman berubah cara kita menghadapi zaman juga harus berubah. Zaman batu, zaman perbudakan dan zaman industri telah berlalu. Maka selesaikan masalah sesuai dengan zamannya. Sekarang zaman informasi. Data menyungai mulai dari bangun tidur, di kamar mandi sampai bergegas tidur kembali. Ya, sekarang zaman informasi, selesaikanlah masalahnya sesuai dengan zaman. Bukan dengan cara zaman industri yang bertumpu produksi dan komsumsi sebanyak-banyaknya. Pada zaman informasi, kita kudu mampu pilah-pilih informasi.


Ilmu dan Pengetahuan

Apakah ilmu dan pengetahuan di atas merupakan dua term yang memiliki satu makna? Atau justru sebaliknya, memiliki makna yang sama sekali berbeda dan tak memiliki hubungan. Atau dapat pula berbeda makna, tapi memiliki hubungan. Dan jika memiliki hubungan, apakah memiliki hubungan yang seimbang atau yang satu melingkupi yang lainnya. Hujan merupakan air yang turun dari atas, termasuk suatu pengetahuan. Tetapi penjelasan mendetail mengapa hujan dapat turun dari atas, yaitu karena penguapan air laut menuju awan yang kemudian karena tiupan angin menjatuhkan air tersebut dari atas, termasuk suatu ilmu. Jadi, pengetahuan adalah apa yang akal tangkap pada realitas. Sementara ilmu adalah penjelasan mendetail atas apa yang ditangkap oleh akal (Mundiri. Logika, 1994; 5)

Orang pintar adalah orang yang mengetahui banyak hal. Sedangkan orang cerdas adalah orang yang dapat  menjelaskan secara mendetail sesuatu yang diketahuinya. Karena setiap ilmu adalah penjelasan mendetail atas pengetahuan. Maka setiap kecerdasan adalah penjelasan mendetail atas kepintaran. Semua orang yang berilmu pasti berpengetahuan, sebagaimana semua orang yang cerdas, pasti pintar. Karena ilmu harus melewati tahap pengetahuan, maka semua yang cerdas harus melewati tahap kepintaran.

Tujuan Kepintaran adalah Kecerdasan

Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya, Belajar Cerdas, menginformasikan kepada kita bahwa terdapat 3 hal mendasar yang dapat mengembangkan kecerdasan otak. Pertama, kita dapat cerdas dengan makanan, yaitu mengomsumsi makanan yang kaya akan omega 3 seperti ikan laut. Kedua, kita dapat cerdas dengan gerakan, yaitu melakukan pergerakan kreatif saat belajar. Dan Ketiga, cerdas dengan pengayaan, yaitu memperbanyak membaca buku atau berdiskusi dengan orang cerdas lainnya (yang ahli pada bidangnya).


Kita tidak dapat mengatakan orang ini cerdas, sementara orang itu bodoh. Karena seseorang dapat sangat memahami (cerdas) dalam suatu bidang, dan kurang memahami (bodoh) dalam bidang yang lain. Orang yang paham dengan peryataan ini tentu tidak akan merasa sombong akan apa yang telah dipahaminya. Semakin kita paham terhadap sesuatu, semakin terhindar pula kita dari kebodohan dan pembodohan. Pintar adalah kemampuan untuk menangkap informasi atau ilmu sebanyak-banyaknya (kuantitas). Sementara cerdas adalah kemampuan untuk memilah-milih informasi atau ilmu yang paling bermanfaat (kualitas). Semakin banyak kuantitas, semakin berkualitas saringannya. Jangan hanya berhenti pada kuantitas, akhiri pada kualitas. Maka, pintar hanyalah tahapan, dan cerdas adalah tujuannya. Itulah mengapa dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 termaktub bahwa
salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah mencerdasakan kehidupan bangsa.

Labels: