Adakah Hak Asasi Manusia bagi Koruptor?

                                                
Hasil gambar untuk ham bagi koruptor?
by: Google Image
Dua hari ini kita akan memperingati hari anti korupsi, pada 9 Desember, dan hari Hak Asasi Manusia, keesokan harinya. Dua hari ini mewakili dua semangat besar yang lahir atas tuntutan reformasi 1998. Itulah mengapa, pemberantasan korupsi dan HAM dilegislasi pada tahun 1999, sesaat setelah euforia reformasi lagi hangat-hangatnya. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2010 dalam Pasal 2 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan; melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan /perekonomian Negara.

Sementara Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia berbunyi; Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pelaku rasuah atau koruptor tersebut merupakah warga Negara Indonesia, sekaligus manusia yang diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa. Terminologi korupsi dan hak asasi manusia harus kita pahami terlebih dahulu untuk dapat menjawab pertanyaan; adakah hak asasi manusia bagi koruptor?

Asal-Usul Kejahatan Korupsi

Selama ini, untuk menangani korupsi, yang dilakukan sekadar pendekatan hukum pidana yang hanya berkutat pada pertanyaan “apakah TiLi melakukan korupsi? (Who). Jika  melakukan pendekatan kriminologi, maka bunyi pertanyaannya akan mendasar, yaitu mengapa TiLi melakukan korupsi? (Why). Kita mencari tahu sebab terjadinya kejahatan (etiologi kriminal). Karena jika kita mencari siapa pelakunya, maka pelakunya bisa siapa saja, bisa bertambah banyak, tidak berkurang dan bahkan si pelaku akan di intervensi oleh tangan-tangan tersembunyi. Jika korupsi tergolong extra ordinary crime, maka kita memerlukan penanganan luar biasa dan pendekatan multi perspektif. Korupsi bukan sekadar kejahatan individu dan sambil lalu. Tetapi korupsi bermetamorfosis menjadi kejahatan kolektif yang terorganisir, laten, dan masif.

Terdapat beberapa teori yang mengelaborasi sebab-sebab terjadinya kejahatan (korupsi). Teori Anomie dari Emile Durkheim memaparkan bahwa anomie terjadi karena hancurnya keteraturan sosial sebagai hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai. Dekadensi moral mengakibatkan koruptor merasa bahwa korupsi itu lumrah karena banyak yang telah melakukannya. Bukan hanya anggaran pendidikan,kesehatan, dan pengadaan kitab suci, kini anggaran pemberantasan korupsi juga dikorupsi.

 Teori lain datang dari Sigmun Freud dengan psikoanalisisnya, yang menyatakan bahwa perilaku kejahatan didorong oleh hati nurani yang lemah hingga tak mampu menahan kuatnya desakan nafsu. Nafsu untuk memiliki harta, kekayaaan dan kemewahan, meskipun diperoleh dari cara-cara yang tidak halal. Terdapat pula teori lain, seperti teori radikal yang berpendapat bahwa kapitalisme merupakan kausa kriminalitas. Namun, teori anomie dan desakan nafsu merupakan dua teori yang paling relevan. Yang pertama merujuk pada lemahnya kontrol sosial, sementara yang kedua merujuk pada lemahnya kontrol diri.

      Merunut pada sebab-sebab realitas kekinian, maka kita mendapati jawaban-jawaban seperti gaji yang rendah serta  proses korupsi yang instan, maksudnya sekali keruk langsung dapat banyak tanpa menunggu gaji yang rendah tersebut. Serta bisa pula disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia bangsa kita yang sangat rendah, khususnya pada penegakan hukum. Karakter manusia Indonesia, kata Muchtar Lubis.

Mekanisme Penanggulangan Korupsi
  1. Pre-Emtif, adalah upaya-upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana (korupsi). Mekanismenya ialah menanamkan nilai-nilai yang baik sehingga nilai atau norma tersebut terinternalisasi dalam diri seseorang. Jadi, meskipun ada kesempatan jika niat berbuat jahat tidak ada maka tidak akan terjadi kejahatan. Pemerintah telah memulainya dengan menciptakan kantin kejujuran di sekolah-sekolah. Namun itu belum cukup. Jika mengacu pada trisentra pendidikan-nya Ki Hadjar Dewantara, maka pendidikan keluarga dan lingkungan masyarakat juga mesti disinergikan dengan apa yang sudah dilakukan oleh Pemerintah melalui pendidikan formal dalam melawan korupsi. 
  2. Preventif, adalah upaya tindak lanjut dari pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadi kejahatan. Dalam upaya ini, kesempatan untuk terjadi tindak pidana dihilangkan atau dicegah. Contohnya, seseorang yang ingin korupsi tapi kesempatannya hilang karena uang yang hendak dikorupsi dijaga dan diatur dengan tegas oleh pihak-pihak atau pemimpin yang adil dan independen. Contohnya oleh Badan Keuangan Negara dan pemanfaatan teknologi muktahir, semisal e-Goverment yang mengutamakan transparansi.
  3. Represif, upaya ini dilakukan setelah terjadinya korupsi, yang mana upayanya adalah penegakan hukum dengan menjatuhkan hukuman seadil-adilnya.


Pemidaan Koruptor Ditinjau dari Perspektif Hak Asasi Manusia

Tujuan pemidanaan bagi pelaku adalah untuk memperbaiki pelaku kejahatan itu sendiri. Montesquieu berpendapat bahwa bentuk perundang-undangan yang baik harus mengusahakan pencegahan kejahatan daripada penghukuman. Adakah hak asasi manusia bagi koruptor? Disamping hak-hak asasi manusia, haruslah disandingkan padanya pemenuhan kewajiban asasi manusia. Karena penuntasan hak dan kewajiban yang kemudian melahirkan keadilan.

Keadilan merupakan subyek pembahasan hukum dan moral. Perbedaannya, hukum lebih mengutamakan hak, sementara moral mengutamakan kewajiban. Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia, karena ia manusia, kata Frans Magnis Suseno. Dalam Konstitusi kita pula, yang membahas HAM cukup panjang, dilegitimasi mengenai dimensi-dimensi hak asasi manusia, mulai dari hak individu, berkeyakinan, berserikat, hak ekonomi, sosial, budaya, hingga kepada hak memperoleh keadilan.

Jika ditinjau dari statusnya sebagai manusia ciptaan Tuhan yang Maha Esa, maka koruptor adalah manusia yang memiliki hak untuk hidup dan dihargai dzat dan substansinya sebagai manusia. Namun, jika ditinjau dari aksidental sifat dan perilaku kejahatannya, maka terdapat beberapa hak yang harus dicabut darinya. Hak tersebut harus dicabut, karena hak tersebut diberikan oleh Negara dan karena penyalahgunaan hak tersebut membuatnya menciderai hak orang lain secara kolektif.

Akhirul kalam, adakah Hak Asasi Manusia bagi koruptor? Hampir seluruh haknya dapat dicabut, kecuali haknya untuk mempertahankan hidupnya, itupun dalam penjara. Selama ia dipenjara dalam menjalani hukumannya, ia tidak berhak atas hak-hak lainnya, seperti hak kebebasan pribadi, berserikat, hak ekonomi dan hak politik. Karena lembaga pemasyarakatan bertujuan untuk memasyarakatkan atau membina narapidana, sebagai hukum ada untuk memanusiakan manusia. Sehingga, tidak ada hak asasi manusia bagi koruptor, kecuali hidup di penjara.

Labels: