Konstitusi Ekonomi



Konstitusi ekonomi adalah hukum tertinggi yang menjadi pedoman dalam kegiatan perekonomian. Gagasan konstitusi ekonomi terbilang baru, jika dibandingkan dengan konstitusi politik yang sudah lama menjadi subyek utama dalam pembahasan konstitusi.  Konstitusi ekonomi memuat dokumen mengenai haluan dan kebijakan negara dan pemerintahan di bidang perekonomian.

Konsepsi dan implementasi konstitusi ekonomi menjadi begitu penting mengingat kegiatan ekonomi merupakan sumber penghidupan rakyat banyak. Tanpanya, kegiatan ekonomi akan berjalan dengan mekanisme pasar dan logikanya sendiri. Hal ini tentu bertentangan dengan jiwa dari konstitusi, yaitu Pancasila.

Mestinya, kegiatan perekonomian yang kemudian diatur dalam batang tubuh konstitusi Pasal 33 haruslah bertujuan untuk menegakkan keadilan sosial melalui demokrasi demi persatuan Indonesia dan persaudaraan kemanusiaan sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa. Bagaimanakah konseptualisasi dan implementasi kegiatan perekonomian yang berdasar pada Konstitusi Pancasila?

KONSEPTUALISASI KONSTITUSI PEREKONOMIAN

Jimly Asshiddiqie dalam buku konstitusi ekonomi memaparkan mengenai the new trias politica antara negara, pasar, dan masyarakat madani. Maka, gagasan mengenai konstitusi juga mesti berkembang. Menghubungkan secara seimbang antara konstitusi politik (negara), konstitusi ekonomi (pasar), dan konstitusi sosial (masyarakat madani).[1] UUD 1945 yang memuat aturan mengenai politik, ekonomi, dan masyarakat tersebut harus dijalankan dalam kerangka bernegara, berbisnis, maupun bermasyarakat. Itu artinya, demokrasi yang hendak ditempuh bukan sekadar demokrasi politik, melainkan pula demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial.

Demokrasi Ekonomi sebagai Landasan dan Arah Perekonomian Nasional

Telah berlalu sejarah kelam revolusi Prancis yang memberikan rakyatnya suatu demokrasi politik, namun tidak untuk demokrasi ekonomi. Rakyat memang bebas memilih dan dipilih, aktif dalam partisipasi politik, dan setara dalam pengambilan kebijakan publik. Namun, rakyat tetap berdaulat secara ekonomi. Rakyat tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti pangan, sandang, dan papan.
Lalu apa gunanya dapat bebas memilih setiap lima tahun sekali atau kurang, namun tetap kelaparan setiap hari, tidak dapat tidur nyenyak berhari-hari, dan kedinginan di malam hari? Itulah mengapa kata Soekarno, bahwa demokrasi politik harus berjalan berkelindan dengan demokrasi ekonomi demi terciptanya suatu demokrasi sosial.[2]

Demokrasi sosial akan menciptakan suatu keadilan atau keseimbangan sosial, yaitu seimbangnya taraf hidup setiap warga pada suatu Negara. Prinsip keadilan dan keseimbangan sosial ini, bukan hanya milik negara sosialis, namun milik semua negara yang  berkeadilan. Mulai dari negara sekular, hingga negara berdasar suatu negara tertentu. Dalam hukum Islam misalnya, tugas Negara dalam keadilan prinsip keseimbangan sosial ini terbagi atas 3 poin; pemberlakuan pajak-pajak permanen, penciptaan sektor publik,  dan pemberlakuan Hukum Islam.[3]

Jika Soekarno pada tahun 1941 (pra kemerdekaan) telah membahas demokrasi ekonomi sebagai pijakan suatu demokrasi sosial, maka Hatta pada tahun 1946 (pasca kemerdekaan) melanjutkan pembahasan demokrasi ekonomi sebagai suatu arah perekonomian nasional di masa depan.[4]

Menurutnya, perekonomian nasional di masa depan bergantung pada koperasi (perekonomian berdasar gotong-royong), transmigrasi demi keadilan demografis, dan peran usia produktif (15-65 tahun). Ketika dua orang usia produktif menanggung satu orang usia non produktif (balita, anak-anak, dan lansia), maka Indonesia telah sampai pada bonus demografi.

Di ujung tulisannya tersebut, Hatta menghimbau agar perekonomian Indonesia tetap mengandalkan sektor agraris pertanian di satu sisi, sembari mengembangkan sektor industri di sisi lain. Pertanian, maritim, dan kekayaan alam Indonesia memang merupakan modal besar demi pembangunan ekonomi di masa depan. Maka sejalan dengan tugas kaum fisiokratis[5], kita semua, utamanya Negara, harus memberikan paradigma bisnis kepada para petani, nelayan, pengusaha-pengusaha kecil di desa untuk bergotong-royong mengembangkan bisnisnya demi perekonomian nasional, bahkan dunia.

Pendekatan Perundang-Undangan terhadap Perekonomian Nasional

Perekonomian nasional diatur dalam Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 5 ayat. Kegiatan ekonomi tidak boleh menjadi ekstrakonstitusional, atau suatu kegiatan yang di luar batas-batas konstitusional suatu negara. Peran negara untuk menciptakan kehidupan kolektif, termasuk dalam kegiatan perekonomian, sudah diterima oleh banyak negara di dunia.  Satu-satunya yang memecah belah para konstitusionalis dalam hal ini adalah sejauh mana kebijakan aksi kolektivis dapat dilaksanakan.[6]

Praktik monopoli, oligopoli, dan persaingan tidak sehat telah lama menjadi penghambat percepatan dan penyeimbangan perekonomian nasional. Untuk mencegah praktik tersebut, telah dibuat perangkat perundang-undangannya. Meskipun terlambat, akhirnya Undang-Undang Antimonopoli dan Persaingan tidak sehat telah berlaku. Hal ini sebagai respon demokrasi ekonomi terhadap timpangnya perekonomian nasional pasca orde baru.[7]

Selain membuat payung hukum demi pembangunan ekonomi, diperlukan pula perangkat hukum untuk membatalkan Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, baik batang tubuhnya maupun Pancasila sebagai jiwa konstitusi. Karena realitas yang terjadi pembangunan ekonomi justru relatif mengacu pada WTO dan mengikuti kepentingan asing dalam pembentukan Undang-Undang yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian.[8]
Argumentasi di atas menemukan bukti konkretnya dengan diputusnya permohonan uji materil oleh Mahkamah Konstitusi terhadap beberapa Undang-Undang yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian. Di antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21-22/PUU-V/2007,[9] Putusan MKRI Nomor 002/PUU-I/2003,[10] Putusan MKRI Nomor 001-021-022/PUU-I/2003,[11] dan Putusan MKRI Nomor 3/PUU-VIII/2010.[12]

Konstitusionalisasi bidang perekonomian mengharuskan pula segala bentuk perundang-undangan yang ada di bawahnya, mulai Undang-Undang hingga Peraturan Daerah, tunduk dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan konstitusi atau UUD. Jika bertentangan sebagian atau seluruhnya, maka Mahkamah Konstitusi berhak membatalkan atau menyatakan bahwa Undang-Undang atau sebagian  materi Undang-Undang  yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Kewenangan judicial review tersebut merupakan karakteristik negara hukum demokratis. Dengan demikian, mekanisme pasar tidak berjalan dengan logikanya sendiri, melainkan harus mengacu pada konstitusi sebagai hukum tertinggi yang berlaku pada suatu negara.[13] Jika konstitusi ekonomi merupakan jembatan antara mekanisme pasar yang dinamis dengan norma-norma hukum yang statis, maka Mahkamah konstitusi merupakan penjaga jembatan agar dapat berjalan sesuai kebutuhan umat manusia. Karena Mahkamah konstitusi adalah pengawal konstitusi sekaligus penafsir akhir (final interpreter of the constitution).

Konstitusi ekonomi di dunia mengatur sekurang-kurangnya (a) tentang penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam sebagai warisan kehidupan, (b) tentang konsepsi hak milik perorangan, dan (c) mengenai peranan negara dan perusahaan negara dalam kegiatan usaha. Bahkan ada pula negara yang mengatur secara lebih luas dan terperinci lagi.[14]

IMPLEMENTASI KONSTITUSI PEREKONOMIAN

Kekayaan sumber daya alam adalah mutlak milik negara, baik itu di negara komunis maupun anti-komunis. Namun, hal ini bukan berarti meniadakan hak perorangan untuk mempunyai hak milik pribadi. Hak milik negara ataupun dikuasai oleh negara harus dipahami sebagai kepemilikan publik yang berlaku dalam konteks hukum publik, bukan kepemilikan perdata yang berlaku dalam konteks hukum perdata.

Sebenarnya, jalan tentang antara kepentingan individu dengan supremasi negara sudah sedari dulu dijembatani oleh gagasan Emile Durkheim tentang golongan karya. Ia kemudian mendefinisikannya sebagai kelompok sekunder yang menjadi perantara individu dengan negara.[15] Sebenarnya pula, rezim orde baru telah melegitimasi berdirinya golongan karya ini. Hanya saja seiring dengan perkembangnnya justru mengarah pada partai politik yang ikut pemilihan umum demi melanggengkan kekuasaan Soeharto. Mungkin, representasi yang paling tepat untuk menggambarkan golongan karya adalah Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan yang menjadi perantara urusan publik-kenegaraan dengan urusan privat-perseorangan.

Sejarah dan Perbandingan Konstitusi Perekonomian di Dunia

Negara sosialis merupakan negara pertama yang mengkonstitusionalisasi kegiatan perekonomian ke dalam konstitusi negaranya. Adapun  negara tersebut adalah Soviet-Rusia pada tahun 1918 di Eropa Timur. Setahun kemudian, pada tahun 1919, negara anti-komunis pertama yang melakukan hal serupa adalah Jerman pada konstitusi Weimar.
Pada praktiknya, hanya negara sosialis yang menjalankan konstitusi ekonomi secara konsisten dalam kebijakan negara dan pemerintahannya. Perkembangan konstitusi ekonomi di Eropa Barat baru benar-benar terealisir oleh bangsa Irlandia pada tahun 1937 melalui Directive Principles of State Policy.

Di negara-negara civil law, kecenderungan untuk mengatur kegiatan-kegiatan kenegaraan merupakan kebiasaan umum, sehingga gagasan pengaturan kegiatan perekonomian dalam konstitusi relatif mudah diterima secara luas. Berbeda dengan negara-negara common law (yang berpaham kapitalisme) menganggap gagasan konstitusi ekonomi tidaklah begitu penting.

Dikarenakan asas konkordansi, semestinya Indonesia mengacu pada model pengelolaan ekonomi yang sukses di Eropa Kontinental, termasuk Belanda. Bukannya malah mengacu pada Amerika Serikat yang terasa sekali pengaruh kapitalismenya sejak orde baru. Hal ini akan menyebabkan kerancuan antara sistem hukum yang dianut (civil law) dengan sistem ekonomi yang dijalankan (kapitalisme). Bahkan, mengacu pada gagasan Hatta, Indonesia harus menerapkan politik bebas aktif, yaitu bebas dari intervensi negara manapun, dan aktif dalam membangun hubungan internasional yang produktif dengan negara manapun, bukan hanya Amerika, tetapi dapat pula Rusia, China, Iran, India, Afrika, maupun negara-negara di Amerika Selatan.

Meskipun negara-negara common law tidak memuat perihal perekonomian dalam konstitusinya, berdasarkan perkembangan zaman, sudah banyak pakar yang mengembangkan penafsiran perekonomian (economic interpretation of the constitution) terhadap konstitusi yang berlaku pada suatu negara, termasuk negara common law.

Perdebatan ideologi seputar negara versus pasar harus segera dijembatani oleh gagasan constitutional market economy. Bahwa perkembangan  mekanisme pasar harus diarahkan melalui norma-norma konstitusi sebagai kesepakatan tertinggi. Konstitusi dapat diubah sesuai perkembangan zaman. Namun sebelum konstitusi diubah, maka konstitusi tersebut tetap harus dijadikan hukum tertinggi dalam bernegara, berbisnis, dan bermasyarakat. Maka, para ekonom dan praktisi bisnis hanya dapat memperhitungkan, politisi yang memutuskan, namun yang menentukan adalah hukum.

Gagasan konstitusi ekonomi tidaklah identik dengan sosialisme-komunisme. Karena konstitusi ekonomi dijalankan pula di negara-negara anti-komunis seperti di negara-negara Eropa Barat, Asia, Afrika, Amerika Selatan, bahkan Amerika Serikat dalam beberapa perkembangannya.  Konstitusi ekonomi merupakan gejala umum yang diterima oleh dunia, tanpa mempersoalkan ideologi, sistem ekonomi, hukum, dan pemerintahan negara tersebut.

Tafsir Holistis terhadap Konstitusi Ekonomi

Beberapa ekonom dan praktisi ekonomi berpandangan bahwa ketentuan Pasal 33 dan 34 UUD 1945 sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan globalisasi. Namun, setelah menganalisis beberapa kontitusi yang berlaku dalam beberapa negara, ternyata ketentuan mengenai perekonomian merupakan gelaja umum yang berlaku di dunia.[16] Bahkan, para ahli banyak yang berusaha menafsirkan perspektif ekonomi terhadap konstitusi Amerika Tahun 1878, yang mana merupakan negara yang paling liberal, kapitalis, dan menyerahkan kegiatan ekonomi pada mekanisme pasar.

Sebagai hukum tertinggi di bidang ekonomi, konstitusi yang bersifat statis harus menemukan korespondesinya dengan mekanisme pasar yang bersifat dinamis. Sudah saatnya dikembangkan gagasan mengenai konstitusi ekonomi dan ekonomi konstitusi. Kontitusi ekonomi merupakan jembatan antara keharusan berorientasi pada mekanisme pasar yang mengutamakan efisiensi dan persaingan di satu pihak, dengan keharusan adanya acuan tertinggi sebagai sarana pengendalian dan sekaligus pendorong kemajuan ekonomi  yang berkeadilan dan mendorong berkembangnya orientasi gotong royong yang sesuai dengan  jiwa bangsa Indonesia.

Namun, konstitusi jangan hanya ditafsirkan secara kaku  hingga ia hanya sekadar nilai-nilai luhur di atas kertas atau bahkan Pasal-Pasal yang kemudia mati dan tidak dihidupkan dalam kegiatan perekonomian. Naskah konstitusi harus hidup (living constitution) dan berkembang (evolving constitution) sesuai dengan kebutuhan zaman.  Maka, diperlukan pemahaman terhadap teks dan konteks konstitusi tersebut.  Bahkan, diperlukan pula pembacaan moral terhadap konstitusi (moral reading of the constitution). Karena konstitusi merupakan dokumen untuk kita, bukan kita untuk dan dihidupkan demi kepentingan kehidupan kita bersama.[17]

PENUTUP

Konstitusi perekonomian merupakan jalan tengah antara aturan yang statis dengan pasar yang dinamis. Konstitusi ekonomi, di samping konstitusi politik dan sosial, merupakan dasar hukum bagi berkembangnya demokrasi politik, ekonomi, dan sosial seperti yang dikonsepsikan oleh Soekarno dan Hatta. Demokrasi yang holistis tersebut merupakan manifestasi dari Pancasila, khususnya Sila Keempat.

Konstitusi ekonomi telah diimplementasikan oleh pelbagai negara di dunia, apapun sistem hukum, ekonomi, pemerintahan, dan ideologinya. Hadirnya aturan ekonomi dalam konstitusi adalah demi kesejahteraan dan keadilan sosial. Karena konstitusi lahir untuk kehidupan kita, bukan sebaliknya. Untuk itu, seluruh elemen pemerintahan, pelaku bisnis, aktivis sosial, dan masyarakat pada umumnya agar mengembangkan konsepsi dan implementasinya terhadap konstitusi perekonomian.





[1] Jimly Asshiddiqie. Konstitusi Ekonomi. Jakarta, Kompas Gramedia. 2016: hal 383.
[2] Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi. 1964, hal 579.
[3] Muhammad Baqir Ash Shadr. Ringkasan Iqtishaduna; Mahzab dan Doktrin Ekonomi Islam. 2012, hal 118. Seperti judulnya, buku ini hanyalah ringkasan dari maha karya Muhammad Baqir yang berjudul Iqtishaduna dalam 3 jilid besar.
[4] Mohammad Hatta. Politik, Kebangsaan, Ekonomi (1926-1977). Penerbit Buku Kompas, Jakarta. 2015, hal 336.
[5] Mikhael Dua. Filsafat Ekonomi; Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama. Kanisius, Bandung. 2008, hal 29. Fisiokratisme adalah mazhab ekonomi yang gagasan utamanya adalah bagaimana kegiatan perekonomian manusia selalu harmonis dengan alam. Maka pertanian, maritim, dan kekayaan alam lainnya merupakan subyek bahasan utama dalam aliran ekonomi ini.
[6] C.F. Strong. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern. Nusa Media, Bandung. 2010, hal 448.
[7] Thoby Mutis. Cakrawala Demokrasi Ekonomi. LKPM , Yogyakarta. 2002, hal 87.
[8] Candra Irawan. Dasar-Dasar Pemikiran Hukum Ekonomi di Indonesia. Mandar Maju, Bandung. 2013, hal 85.
[9] Uji Materil terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
[10] Uji Materil terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas.
[11] Uji Materil terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
[12] Uji Materil terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
[13] Jimly, hal 384.
[14] Ibid, hal 385.
[15] Anthony Giddens. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. UI-Press, Jakarta. 1986, hal 126.
[16] Jimly, hal 386.
[17] Jimly, 387.

Labels: